Monday, October 3, 2011

CHAPTER 4
          Pagi ini Metha bangun lebih awal, biasanya jam 5:30 tapi sekarang ia bangun jam 5 kurang. Setelah shalat subuh, ia pun menemani paman Bill di dapur sambil tersenyum manis.
“Tumben jam segini udah mandi, biasanya juga setengah enam baru bangun.”tegur paman Bill yang merasa aneh dengan Metha pagi ini.
“Hehe, jam 8 pagi aku ada pemotretan di stasiun.”jawab Metha. “Kan jam 8 nanti Met, baru juga jam 5 lewat dikit.”sahut paman. “Aku dijemput jam 7 pamaaan.”tegas Metha.
“Siapa, cowok itu ?” Tanya Paman. Metha mengangguk. “Siapa dia, pacar kamu ?”Tanya paman lagi. “Bukan, dia editor kantor yang ditugaskan dampingi aku.”
“Kamu suka sama dia ?”Tanya paman Bill yang cepat mengambil kesimpulan. Metha nggak bisa bohong, ia pun mengangguk cepat. Lalu ia bersandar di dinding lemari dapur sambil memandang keluar jendela. “Dia beda Man, bedaa banget.”ucap Metha mengingat. “Doi cool banget, dia cuek sama sekitarnya. Tapi dia perhatian kok, waktu itu aja dia yang ngantar Metha pulang, terus dia mau jemput Metha. Dia juga gak neko-neko, sederhana banget, gak pernah pake kemeja rapi seperti temen-temen  kantor, cukup t-shirt berkerah dengan jaket cutenya. Dia juga gak banyak omong, kecuali diajak bicara itupun seperlunya aja. Teruuus dia juga punya senyum yang manis, sayangnya senyumnya gak pernah buat Metha. Hufft..tapi gak papa deh… Metha seneng bisa deket ama Dira.”cerita Metha yang diakhiri dengan senyum manisnya. Paman Bill manggut-manggut menyimak cerita Metha.
“Oh, namanya Dira ? Paman pengen lihat, cowok mana sih yang bisa buat keponakan paman tergila-gila ???”ujar paman Bill.
Metha tersenyum geli mendengar penuturan pamannya. Kemudian ia meniggalkan dapur dan menuju kamar. “Metha ganti baju dulu man,”Teriaknya sebelum menutup pintu kamarnya, dan benar saja pintu rumah pun terketuk. Paman segera menuju ruang tamu dan mendapati seorang pria yang lebih tua sedikit dari Metha tengah tersenyum ramah ke arahnya. “Dira kan ? Masuk, Metha lagi siap-siap tuh.”ujar paman Bill nggak kalah ramah. Dira pun masuk dan duduk di depan paman Bill. “Paman kok tahu nama saya ?”Tanya Dira heran. Paman Bill pun tersenyum kecil. “Metha yang cerita soal kamu,”jawab paman Bill. Obrolan mereka pun berlanjut ke arah pekerjaan Dira yang sudah dijalani 4 tahun terakhir ini.  
Tepat pukul 7 lewat 30 menit Metha dan Dira tiba di stasiun, benar saja jarum jam belum menunjukkan angka 8, tetapi stasiun sudah dipadati oleh calon penumpang kereta api. Begitu padatnya, membuat Metha tertinggal jauh dibelakang Dira. Cowok cool itupun kembali lalu menggandeng  Metha dan mereka pergi ke ujung stasiun yang agak renggang. Metha pun bernafas lega dan memegang pergelangan tangannya yang tadi digandeng Dira. Dira pun mendekatinya, “Sakit ?”Tanya Dira seraya memerhatikan tangan Metha. Metha meringis dan menurunkan tangannya. “Sedikit perih aja,kamu megangnya kekencengan,”jawab Metha. Dira meraih tangan Metha dan memerhatikan pergelangan tangannya, ada luka kecil disitu, sepertinya bekas kuku jari manis Dira yang memang sengaja dipanjangkan. Dira meniupnya dengan lembut, membuat Metha jadi gemetaran, Hihihi… sampai-sampai telapak tangannya terasa gitu karena gugup. Aduh Metha, plis deh…! Jangan sampai doi tau kalau kamu naksir berat. Sejurus kemudian Metha menarik tangannnya dari pegangan Dira. Doi pun menatapnya heran “Gak papa kok, masih bisa dipake. Jadi nyantai aja.”ujar Metha. “Kalau aku nggak gandeng kamu kuat-kuat, kamu bisa ketinggalan jauh di gerombolan sana.” Jawab Dira. “Iya, aku tau.”Jawab Metha singkat.
Sedang asyik-asiknya Metha memotret, ia melihat Dira yang tengah membeli minuman dingin, dihampiri oleh 2 lelaki bertubuh tegap yang memakai seragam serba hitam. Tampaknya Dira tidak asing dengan kehadiran keduanya. Tampaknya mereka tengah membicarakan suatu hal yang sangat penting, sehingga harus membawa Dira menjauh dari pedagang asongan tadi. Metha tak lagi memotret, ia serius memerhatikan Dira dan kedua lelaki tersebut yang bertubuh gempal seperti algojo atau intel. Ia takut Dira kenapa-kenapa, maklum Metha naksirnya jadi tambah berat banget. Gara-gara tadi Dira meniup luka ditangannya. Hihihi… Seberat apa sih Met ?? dan bener saja, sekarang obrolan mereka sedikit menegangkan. Tampak Dira sedang menunjuk-nunjuk salah seorang diantaranya dengan ekspresi penuh amarah. Metha pun tidak tinggal diam, ia berlari menghampiri Dira dan menyaksikan secara langsung pertengkaran mereka.
Salah seorang pria bertubuh itu tegap itu mendorong Dira, membuat cowok cool itu terhempas ke belakang, Metha pun jadi terpancing emosinya. Lalu ia berdiri dihadapan pria tersebut dan mendongak menatapnya tajam. “Heh ! Gak usah main kasar donk, santai aja ngomongnya, gak usah dorong-dorong gitu, mentang-mentang gede ! Menang otot doank.” Ketus Metha kesal. Kedua pria tersebut saling melempar pandang, lalu mereka tertawa. “Udah berani bawa orang rupanya,”ucap salah seorang diantaranya. “Cewek pula.”sahut seorang lagi. “Kalau gue cewek lho mau apa ?”lirih Metha tajam. Entah dia dapat ide gila dari mana tiba-tiba berani menantang 2 algojo ini, padahal dia tahu resikonya. Kalau nggak diculik, dibentak-bentak atau dimaki-maki, bisa dipukul dan Metha pingsan ditempat.   Gawat !!
“Berani juga loe nantangin kita-kita, beruntung tuh cunguk punya cewek kayak loe. Tapi mending loe mundur aja, jauh-jauh sana.”ujar salah seorang dari mereka disambung tawa. Dira segera menarik Metha ke belakang “Cabut sana,”lirih Dira. Keduanya menatap Dira tajam, lalu salah satunya memukul pipi kiri Dira, membuatnya tersungkur di kaki Metha. Metha pun membantunya berdiri, tampak menetes darah kental dari hidung Dira, membuat Metha gemetaran karenanya. “Apa-apaan sih, jangan main kasar donk !”bentak Metha yang mulai takut dengan situasi seperti ini. “Dimana ibumu sekarang ?”bentak salah seorang diantaranya. Bukannya menjawab, Dira malah membalas pukulan pria itu. Lumayan kuat sehingga membuatnya terhempas ke belakang, wajahnya pun memar. Melihat temannya dipukul, seorang pria lainnya pun memukul Dira, meski tak membuatnya tersungkur  tetapi cukup membuat Dira meringis  menahan perih. Dira pun melayangkan tendangannya dan mengenai perut pria tersebut. Ketika yang satu lagi akan membalas tendangan, datang security  menghampiri mereka sambil meniup fluit. Kedua algojo tersebut lari terbirit-birit, tinggallah Dira seorang dan diminta ke kantor untuk memberikan penjelasan. Dira mengikuti kemauan bapak kepala keamanan tersebut dan menyadari sesuatu, ia pun berbalik dan mencari sosok Metha yang tadi bersamanya. Dira benar-benar lupa, yang ia ingat terakhir Metha melerai pertengkaran mereka. Ia pun mendapati seorang cewek yang sangat dikenalnya tengah duduk memeluk lutut dengan wajah pucat tanpa ekspresi di sidut stasiun. Dira segera berlari ke arahnya, dan jongkok dihadapan Metha. “Met,”ucapnya pelan. Metha menatapnya, ini kali pertama Dira menyebut namanya, penuh dengan perasaan pula tapi Metha tak berdaya, ia shock.  Seumur hidupnya ia tidak pernah melihat pertengkaran berujung perkelahian, di depan mata pula. Ketika Dira mendapat pukulan kedua tadi, Metha berlari menjauh dan menyaksikan keributan tersebut dari sudut stasiun. “Met,”panggil Dira lagi. Ia membantu Metha berdiri dan menggandengnya ke kantor kepala keamanan.
Sesampainya di kantor, Metha duduk disebelah Dira tanpa memberikan laporan apapun, ia terdiam. Sedangkan Dira memberikan laporan palsu, bahwa kedua algojo tadi adalah perampok yang hendak merampok kamera Canon 5000d milik Metha. Atas alasan melindungi Metha, Dira terpaksa memukul mereka. Alhasil, kepala keamanan tersebut percaya dengan penjelasan Dira. Metha hanya mengangguk pertanda membenarkan laporan Dira. Merekapun dipersilahkan melanjutkan kegiatan memotretnya.
        Metha dan Dira beriringan keluar kantor keamanan. Dira memerhatikan Metha yang sejak tadi hanya diam, wajahnya sudah tidak sepucat tadi tetapi tampak lesu karena lelah. Tidak ada senyum diwajah Metha yang biasanya tampak selalu ceria. Dira mengajaknya duduk, “Kita break memotret,”ujar Dira. Metha menoleh ke arahnya,”Kenapa ?”Tanya Metha datar. “Kamu yang kenapa?”Tanya Dira balik. Metha menggeleng pelan. Dira memegang tangannya. “Met,”panggilnya pelan, berharap Metha akan menjelaskan sesuatu. Nothing, Metha menarik tangannya lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, lalu terdengar isak tangis. Metha menangis. Dira jadi bingung, ada apa ini ?batinya gundah.
“Aku takut Dir,”ucap Metha. “Takut apa ?”Tanya Dira tidak mengerti. “Aku takut kamu kenapa-kenapa, aku takut kalau mengingat perkelahian tadi. Aku tidak pernah melihat keributan seperti tadi Dir, sungguh.”ujar Metha diikuti isak tangisnya.
Dira menarik nafas, ia kaget mendengar penuturan Metha. Cewek ceria yang dikenalnya di kantor ini ternyata kuat, ia mampu menutupi perasaannya dari Dira. Bahkan Dira tidak menyangka kalau keributan tadi bisa membuatnya menangis. Pantas saja wajah Metha tadi tampak pucat. “Sorry… aku sudah buat kamu nangis. Aku gak bermaksud membuat perkelahian kayak tadi. Aku gak bisa kendalikan emosiku Met,”ujar Dira dengan nada penyesalan. Tangis Metha mereda, dihusapnya kedua pipinya yang lembab, “Iya aku mengerti. Nggak apa-apa, aku Cuma shock aja tadi,”ucap Metha diakhiri senyum kecil. Dira meraih saku jaketnya dan mendapati tisu, dipegangnya pipi kanan Metha, “Tapi kamu masih nangis, aku nggak bisa lihat cewek nangis.”ucap Dira seraya menghapus air mata Metha. Membuat cewek manis ini terpaku menatapnya. Kedua bola mata Dira yang lembut itu seolah-olah menggambarkan sosok Dira yang sebenarnya. Metha yakin Dira nggak secuek yang dia pikirkan, nggak sedingin yang dikenal teman-teman kantor selama ini, ia cenderung perhatian dan penuh tanggung jawab.
“Met,” Dira kembali memanggilnya. Metha pun tersentak dan bangun dari lamunannya. Dira yakin masih ada perasaan takut dari dalam hati Metha, dan Metha berusaha menutupi semuanya. Ia memilih diam daripada memaki-maki Dira yang sudah membuatnya merasa tidak nyaman dengan situasi menegangkan tadi. Metha bisa saja menelefon mbak Mona, manager kantor. Memintanya untuk mengganti editor pendampingnya atau langsung kembali ke kantor dan membiarkan Dira menyelesaikan masalahnya sendiri. Tapi Metha tidak seperti itu, ia memilih melawan kedua algojo tadi, meski ia tahu resiko yang akan menimpa dirinya. Ia berusaha membantu Dira meskipun sebenarnya Dira tidak memintanya, ia Metha yang kuat, penuh percaya diri dan ceria. Tapi sayang, Dira membuat wajah ceria itu menghilang karena tertutupi perasaan takut. Di mata Metha masih ada perasaan takut itu, setetes demi setetes air mata itu masih saja jatuh. “Kalau kita break, kita ke puskesmas aja yuk Dir, memar kamu harus dikompres supaya nggak bertambah parah,”ujar Metha yang memerhatikan memar di pipi kiri Dira dan hidungnya. Dira menggeleng pelan, lalu ia mendekap Metha ke dalam pelukannya, dibelainya rambut Metha yang hitam pekat itu. “Aku minta maaf sudah buat kamu takut Met, udah buat kamu gak nyaman di dekatku, udah melibatkan kamu ke dalam masalahku.”ucap Dira penuh penyesalan. Metha menangis dalam pelukan Dira,”Ya Tuhan, aku benar-benar merasa nyaman di dekat Dira.”batin Metha dalam hati. Ia memang takut, perasaan itu masih ada.
“Aku memang takut Dir, banget. Aku nggak menyangka pemotretan hari ini harus berakhir dengan keributan.”ucap Metha pelan, lalu ia melepaskan diri dari Dira. “Tapi sekarang aku merasa lebih baik Dir, makasih.”ucap Metha diakhiri senyum manisnya. Dira mengacak rambutnya yang panrok itu, dan tersenyum lega. Oh my God, senyum itu buat gue,”batin Metha tidak percaya.

No comments:

Post a Comment