Thursday, November 24, 2011

“Cinta dan Persahabatan”

Matahari sore ini tampak begitu semangat menampakkan dirinya, disela-sela sang pelangi ia tersenyum ceria kepada seluruh makhluk  dimuka bumi ini. Berbeda dengan dirinya yang tadi pagi, yang enggan keluar dari persembunyiannya. Sehingga senin pagi tampak gelap karena mendung. Syukurlah, karena mendung tak bertahan hingga sore hari. Karena senin sore ini, Sera dan Adam berniat menjenguk Cici, teman sekelas sekaligus sahabat mereka 3 tahun ini. Ya.. Sera, Adam dan Cici adalah teman baik. Hal itu terbina sejak mereka bersama-sama mendirikan sebuah organisasi luar sekolah yang bergerak di bidang sosial. Organisasi yang kemudian mereka beri nama Perkumpulan anak-anak Peduli, yang biasa mereka singkat menjadi PAAP. Kini sudah sudah beranggotakan kurang lebih 25 orang. Memang bukan jumlah yang banyak, bagi mereka adalah niat tulus serta keinginan mereka sendiri untuk membantu sesama yang membutuhkan uluran tangan dan perhatian , tanpa adanya unsur paksaan. Organisasi yang diketuai Adam ini, beranggotakan pelajar SMA Mahasiswa dari Sekolah serta Fakultas yang berbeda-beda.
                                                           ***
                 “Ruangan dahlia kan Dam?” Tanya Sera memastikan bahwa Adam nggak lupa nama ruangan tempat Cici dirawat karena menderita demam berdarah. “iya, sebelah sini Ser.” Panggil Adam yang langkahnya dipercepat. Takut kalau jam besuk akan habis. Sera pun mengikutinya, dan mereka tiba di depan ruang Dahlia. Adam dan Sera pun segera masuk,dan mulai menghitung nomor kamar yang berbaris rapi itu. “c5. Ini dia Dam.” Kata Sera lega.  Mereka pun mendapati Cici yang sedang tertidur pulas. Adam mendekati tempat tidur Cici yang terletak di tengah itu. Sedangkan Sera masih berdiri diambang pintu. Seketika langkahnya terhenti, ekspresi wajahnya berubah. Semula Nampak senang karena dapat bertemu Cici, sekarang Nampak tegang karena kaget. Ia serius memerhatikan seorang cowok yang usianya setahun lebih tua darinya, sedang tertidur di tempat tidur di sudut ruangan. Meski Nampak pucat, Sera yakin cowok itu tampan. Aneh banget, kenal aja nggak, udah yakin gitu. Tapi meskipun mereka sama-sama mengenakan seragam pasien, Sera bisa melihat ada yang berbeda dari pasien disebelah kanan Cici ini. “ya, lesung pipitnya.” Pekik Sera dalam hati. Meski kelihatan menahan rasa sakit, laki-laki yang juga menginap di kamar c5 ini terlihat begitu tenang. Ia tampak begitu kuat menahan sakit yang dideritanya.
                                                             ***
                    Pukul 19.00 Sera tiba dirumah. Segera ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu. Karena sebentar lagi waktu shalat maghrib akan berakhir. Selesai mengerjakan shalat, Sera duduk ditempat tidurnya. Merenung dan membayangkan  wajah laki-laki yang tadi dilihatnya dirumah sakit umum. “Gue yakin dia Wira.” Gumam Sera, ia tertunduk. Meski ia belum bisa menerima kenyataan bahwa kini cinta pertamanya telah kembali. Namanya Wira,. Dulu.. tepatnya ketika Sera menjadi murid baru di sebuah Sekolah Dasar. Wira adalah satu-satunya anak yang dia kenal. Wira lah menjadi teman baiknya sebelum Sera mengenal anak-anak yang lain. Keakraban mereka berlanjut hingga mereka masuk SMP Negeri. Meski tidak sekelas, Sera dan Wira masih menyempatkan diri untuk makan bersama dikantin saat jam istirahat.
                      Kemudian mereka naik ke kelas 3 di sebuah SMP Negeri. Mereka sekelas dan itu membuat keduanya senang sekali. Karena mereka bisa mengerjakan tugas bersama-sama. Wira tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia pun mengatakan perihal perasaanya kepada Sera. Sayang sekali kesempatan yang dinanti Sera, disia-siakannya begitu saja.
 “ Gue nggak bisa Wir,” jawab Sera saat itu.
 “kenapa Ra?” Tanya Wira yang tidak menyangka Sera akan menolaknya.
 “Ratih lebih pantas buat loe,” jawab Sera lagi.
“Ratih? Kenapa harus dia?”  Tanya Wira tidak mengerti.
“Karna gue tau pasti, dia suka sama loe.”
“Trus gimana sama loe? Loe nggak suka sama gue?” selidik Wira. Sera menelan ludah pahitnya.
“ Gue nggak mau nyakitin Ratih, dia sahabat gue.”
“Oya? Trus, siapa gue?” Tanya Wira dengan nada tinggi.
“Elo juga sahabat gue, dan gue bahagia kalo kedua sahabat gue bahagia.”
“Ooh, jadi begitu. Loe lebih ngejaga perasaan sahabat loe selama 3 tahun ketimbang gue yang sudah sama-sama loe 7 tahun. Gitu..!”  Wira meninggikankan kata-katanya.
“Loe nggak ngerti Wir,”
“Soal apa?! soal perasaan Ratih? Loe lebih sayang dia ketimbang gue.” Kata Wira masih emosi.
                         Sera diam. Suasana saat itu begitu hening dan menegangkan. Wira menarik nafas dalam-dalam. “Oke, kalau begitu lupain gue.” Lirih Wira.  Sera tercengang dan menatapnya lurus. “loe egois.” Ucap Sera pelan. Setetes dua tetes airmatanya jatuh. “Gue??? Bukannya loe yang egois,mementingkan perasaan Ratih ketimbang gue.” Kata Wira.
“loe nggak ngerti Wir,” ucap Sera penuh harap.
“Loe yang nggak ngerti Ra.” Balas Wira
 “gue nggak mau nyakitin Ratih Wir, gue nggak mau dia sakit.” ucap Sera mengulang kata-katanya.
“oh, dan loe lebih memilih gue yang sakit?!” ucap Wira tajam.
Sera tertunduk,airmatanya kembali menetes. Wira bangkit dari duduknya. Sera tak mampu menatapnya. Ia masih menunduk.
“Gue sayang sama loe Ra. Memang kita masih kecil, mungkin sebagian orang atau bahkan semua orang akan beranggapan kalau ini hanya cinta monyet. Gue nggak perduli, gue benar-benar sayang sama loe. Gue janji  suatu saat nanti gue mampu ngebahagiain elo.” Kata Wira dengan sangat meyakinkan.
Wira menarik nafas sejenak. Sebelum akhirnya mengatakan, ”Tapi sudahlah, lupakan. Lupakan semuanya. Lupakan gue dan perasaan gue.” Ucap Wira akhirnya dan meninggalkan Sera sendiri kala itu yang dengan susah payah menelan ludahnya.
             “Gue juga sayang sama loe.” Ucap Sera berbisik.
Be Late..! ya.. sudah terlambat. Wira sudah benar-benar pergi. Sejak pertengkaran itu, Wira dan Sera sudah tidak seakrab dulu lagi. Bahkan mereka tidak bertegur sapa, alias bermusuhan. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Ratih untuk mendekati Wira. Biarlah..! Sera tau Ratih mengidap jantung koroner turunan,dia nggak mau penyakitnya kambuh dan berakibat fatal nantinya. Kini,Sera sudah menginjak kelas 3 SMA dan Ratih sudah tidak satu sekolah dengannya, apalagi Wira. Hubungannya dengan cowok cute itu sudah berakhir, mereka lost contact. Sera sudah putus asa mencari keberadaan Wira. Hingga akhirnya ia mengenal Cici ketika menginjak kelas 1 SMA. Lalu Cici mengenalkannya pada Adam di organisasi PAAP yang ternyata juga bersekolah di SMA yang sama. Keakraban mereka pun berlanjut pada persahabatan. Sampai pada akhirnya kedua sahabatnya itu membuat Sera benar-benar lupa pada Wira. Tapi sekarang, karena penyakit yang diderita Cici, Sera kembali kemasa lalunya, karena ia melihat Wira kembali.
“Kak..!” panggil Nera, kepalanya muncul diambang pintu. Sera pun terbangun dari lamunannya., dan mengangkat kepalanya. “makan yuk..!” lanjutnya lagi. Adiknya yang masih duduk di bangku SD itu memang selalu mengajaknya makan bersama. “Kakak Isya’an dulu ya. Nera tunggu diluar.”  Nera mengangguk cepat dan menghilang dari ambang pintu. Sera segera mengusap kedua pipinya, takut ketahuan mamanya

Monday, November 7, 2011

Bias Masa Lalu


           Mungkin kalian akan iri jika melihat kehidupan Marsha. Meski tanpa sosok Ayah, Marsha tampak selalu bahagia menjalani hari-harinya. Bukan saja karena ia anak tunggal sehingga seluruh kasih sayang sang Ibu tercurahkan untuknya seorang, tetapi juga karena ia dianugerahkan bunda yang sangat dicintainya,yaang mampu menggantikan sosok Ayah. Ya… sudah 16 tahun lamanya Marsha hidup bersama bundanya, disebuah rumah sederhana yang ditinggalkan Ayah untuk mereka. Meskipun rumah Marsha tidak semegah rumah pak Andi orang terkaya ditempat tinggalnya, tetapi cukup menyenangkan karena halamannya dipenuhi dengan berbagai jenis bunga yang beranekaragam warnanya. Hal tersebut sudah berulang kali diungkapkan oleh Risky, sahabat sekaligus teman sebangku Marsha.
“Kadang, aku tuh iri loh Sha sama kamu,” tutur Risky. Marsha mengernyitkan dahi.
“Meski tanpa Ayah,kamu tetap selalu bahagia. Aku aja nih yaa, yang punya ibu-bapak, nggak sebahagia kamu tuh.”tambahnya.
“Hidup itu seperti roda yang terus berputar Ris,kadang diatas,dan terkadang dibawah. Memang saat ini aku yang bahagia, tapi suatu saat nanti kamu juga merasakannya.” Ujar Marsha bijak. Risky pun mengangguk mengerti.
          Ternyata benar apa yang dikatakan Marsha, tidak selamanya Dewi Fortuna berpihak padanya. Sambil terus membayangkan sosok Bunda, ia teringat akan peristiwa itu…
 ***
          “Sha, ntar sore jadikan kerumah Andrey?”tanya Risky yang berencana akan mengajak Marsha mengerjakan tugas di rumah Andrey. Anak laki-laki yang setahun lebih tua dari usia mereka, bahkan memiliki kecerdasan yang levelnya setingkat lebih tinggi diatas Marsha dan Risky. Tidak heran kalau mereka selalu butuh bantuan Andrey untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah yang memutar otak.
“Kamu aja deh, aku nggak bisa.”Jaawab Marsha dengan raut wajah kecewa.
“Kok gitu sih? Kan kita udah sepakat mau kesana bareng.”Ujar Risky nggak kalah kecewa.
“Sorry Ris, tiba-tiba Bunda melarang aku dekat dengan Andrey.Kata Bunda sih nggak baik.”
“Kok gitu? Padahal kan hanya berteman? I think no problem.”
“Aku juga sudah bilang begitu Ris. Tapi Bunda nggak mau mengerti, Bunda bilang Andrey nggak baik buat kita. Bunda juga bilang kalau cowok kayak Andrey tuh penuh ego.”Ujar Marsha mengulang kata-kata Bundanya semalam yang masih terngiang ditelinganya. Risky diam sejenak. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu.
“Rasa-rasanya ada yang aneh deh sama Bundamu Sha. Kok tiba-tiba nggelarang kedekatan kamu sama Andrey? Padahal kan kamu sudah lama berteman  sama Andrey.”
 “Bunda takut Andrey jatuh cinta sama aku.” Jawab Marsha pelan. Diluar dugaan,Risky malah terkekeh. Marsha pun menatapnya kesal.  “Kok ketawa sih? Kayaknya nggak ada yang lucu deh.”Ujar Marsha ketus.
“Lucu aja. Aku fikir kenapa? Eh,,, taunya Bundamu takut mantu anak konglomerat yaa.. belum siap mendadak kaya. Hehehe…” ledek Risky usil. Marsha menatapnya kesal.

"Jilbab Putih"


           Kriiing… kriing…! Maia membunyikan lonceng sepedanya sepanjang perjalanan menuju SMA 1 NUSA BANGSA. Yakni sekolah menengah atas yang menjadi terfavorit di Jawa Barat-Bandung. Sepanjang perjalanan Maia terus tersenyum pada dirinya sendiri. Suatu kebanggaan tersendiri karena bisa bersekolah disekolah yang sangat didambakannya sejak lama. Terfavorit,megah,seragamnya bagus,muridnya keren-keren lagi. Lumayanlah bisa merubah sedikit pergaulanku. Punya teman orang-orang kaya nggak salah kan? Punya teman-teman gaul bukan Cuma mimpi kan? Bathin Maia. Memang, Maia bukan anak gaul dari golongan orang berekonomi tinggi. Maia bisa bersekolah disana karena hasil kerja kerasnya 3 tahun menempuh pendidikan di SMP Muhammadiah yang letaknya jauuuh sekali dari pusat kota, sehingga ia harus ketinggalan jauh dari tren masa kini. Karena sebuah mimpi lah ia mampu mengalahkan ratusan siswa-siswi berprestasi yang menjadi nominasi penerima beasiswa kesekolah yang diinginkan hingga jenjang perkuliahan. Syukurlah,akhirnya aku sampai juga disekolah favoritku. Bathin Maia diakhiri senyum.
            Aku menuntun sepedaku menuju parkiran. Aku menengok kesana kemari melihat sekelilingku. “Parkirannya besar benget. Ini parkiran atau aula?” Batinku dalam hati. Aku begitu takjub melihat parkiran sekolah yang didesain sedemikian rupa sehingga lebih mirip aula dari pada parkiran. Tiiin. . . tin . . . !!! “Woiii.. minggirin tuh sepeda butut loe!” Umpat seseorang. Aku menoleh. Sebuah sepeda motor Scoopy berwarna pink berdiri dibelakangku. “Hei cupu ! bisa minggir nggak sih loe. Mau mati loe ?!” Pengendaranya meneriakiku. Akupun terpesona melihatnya, seragam sekolahnya sama denganku. Tapi apa yaa yang membedakannya??? Hmmm.. oh ya ! dia pakai aksesoris berwarna pink. Matching dengan kaos kaki dan sepeda motornya. Kereen !
“Hei cupu ! ngeselin loe ya ! cari masalah loe sama gue ?!”
Haaa… Aku terkejut setengah mati. Gede banget sih suaranya, cempreng pula. “Bisa minggir nggak sih loe!”Sambungnya. cewek cantik itu menjerit-jerit nggak karuan didepanku. Aku menutup kedua telingaku lalu cepat-cepat meninggalkan parkiran.

Sunday, October 16, 2011

"Sebuah Penantian"



              Hari ini akan menjadi momen terindah bagi Metha. Karena tepat di hari ulang tahunnya, ia diterima bekerja disebuah kantor majalah. Posisi yang ditawarkan kepadanya pun menyenangkan, yaitu sebagai fotografer. Yuhui….! Bukan main senangnya hati Metha. Setelah ia melahap chicken noodle buatan paman Billy (seorang chef dirumah makan), lalu ia menuju terminal untuk segera berangkat ke kantor.
Setibanya di kantor, ia disambut hangat oleh karyawan disana. Metha pun menduduki kursi yang ditunjuk untuk dirinya. Khusus hari ini, ia tidak diberikan tugas apapun. Ia dipersilahkan untuk mengamati & mempelajari image yang tersave di folder. Saat sedang asyik  mengamati gambar-gambar yang ada di folder, lewat seorang pria yang mencuri perhatiannya. Pria itu berpenampilan berbeda dari yang lainnya. Jika cowok dikantor tersebut pada umumnya mengenakan kemeja tartan berwarna putih, ia hanya mengenakan kaos berkerah. Jika mereka membawa koper, ia hanya menenteng ransel kecil yang kusam. Jika mereka menyisir rapi rambut mereka dan memberi sentuhan jelly agar tampak rapi, ia membiarkan rambutnya jatuh tanpa arah.
“ Lihat apa ? “ Tanya pria tersebut pada Metha.
“ Hah ? “ metha pun melongo hebat karena tidak menyangka kalau pria itu akan menyadarinya. Dan Metha pun baru sadar, benar saja pria tersebut merasa terganggu. Lha wong Metha merhatiin dia sampai doi duduk kok. Hihihi.. Metha kembali pada computer dihadapannya sambil menahan malu.
***
          Tepat pukul 12.00 siang, seluruh karyawan dipersilahkan break untuk makan siang dan bekerja kembali pada jam 2 siang. Metha pun menuju lobby untuk membuka bekal buatan paman Billy dan hendak melahapnya. Sebelumnya Metha menghirup wangi sushi yang beraroma udang terlebih dahulu, hmmft… lalu ia meraih 1 buah sushi dan baru saja akan memakannya, lewat pria itu dihadapanya.Metha pun membatalkan rencananya.
Ia kembalikan sushi ke dalam kotak bekalnya, lalu ia berdiri dari duduknya. “Hei…!!” panggilnya ramah. Pria itu berhenti dan menatapnya. Metha pun berdiri dihadapannya dan menyodorkan kotak bekalnya. Pria itu mengernyitkan dahi. “Cobain deh..!!” ujar Metha. Pria itu menatapnya lurus. “Cobain aja, buatan pamanku”, lanjut Metha masih tetap ramah. Sesaat pria itu memerhatikan sushi yang ada dihadapannya, tergulung rapi dengan aroma udang. Masa sih buatan pamannya ? batin pria itu. Lalu ia mendorong kotak bekal itu sedikit menjauh dari dadanya sambil menggeleng pelan. “Thanks, aku nggak lapar.” Ujarnya singkat dan menjauh dari Metha. “Ah, udah cape-cape berdiri, nunggunya lama pula, ujung-ujungnya thanks.” Gerutu Metha, pria itu sudah jauh dari lobby.

CHAPTER 2
                        Pagi ini Metha mendapat tugas memotret jalan-jalan protokol untuk edisi minggu depan. Ia pun didampingi oleh tim editor. Yakni Pipit dan pria itu. Saat sedang asyik memotret, kamera Metha tertuju pada pria yang tengah duduk santai di bawah pohon asam di sisi jalan protokol. Metha nggak menyia-nyiakan kesempatan itu, ia pun mengzoom  pria itu sambil tersenyum geli. Sambil terus memainkan kamera, ia pun berkata “cool banget sih”, lalu ia tertawa kecil. “sampai kapan kamu mau berdiri disitu Metha ?” sapa Pipit. Metha pun menoleh dan terperanjat. Pipit pun tertawa melihat ekspresi Metha yang kaget itu. Dengan raut wajah pucat, Metha mencoba tersenyum kecil untuk menutupi kegugupannya. “Hmm, mbak Pipit udah balik rupanya. Aku lagi nugguin mbak aja.”jawabnya pelan. Lalu muncul pria itu di belakang Metha. “Dapat gak toiletnya?” Tanyanya ke Pipit. Pipit yang masih tertawa itu pun hanya menggeleng pelan sambil memegangi perutnya. “Ngetawain apa sih ?”Tanya pria itu heran. “Nggak ada apa-apa kok, balik yuk ke kantor ! Udah dapat gambar baguskan Met ?”ujar Pipit. “Udah kok mbak” jawab Metha datar.
   Sesampainya di kantor, Metha segera memasukkan foto-foto hasil jepretannya ke computer sambil mengigit kuku jari tangannya. Ia pun bertanya-tanya dalam hati. Mbak Pipit tahu nggak ya ? Aduuuh, kalau ketahuan bisa brabe nih, batinnya kacau.
“Hei Met, ngelamun aja.”panggil Pipit yang duduk di atas mejanya. “Eh mbak. Fotonya udah aku save  nih, mau langsung dilihat ?”Tanya Metha. Pipit menggeleng pelan sambil tersenyum, “Ntar aja deh. Kamu delete aja dulu gambar-gambarnya Dira. Sebelum orang-orang kantor tahu kalau kamu naksir sama doi.. hehe.” bisik Pipit, Metha pun melongo, lalu menggaruk kepalanya yang nggak gatal.
“Ah, mbak apaan sih…siapa juga yang naksir dia.”elak Metha.
“Udaaah, santai aja lagi. Doi memang cool.”sahut Pipit disambung tawa.
“Hehehe,” Metha pun terkekeh dan melihat senyum geli Pipit yang ngeledek dia. Dan ia baru saja dapat namanya tanpa kenalan, Dira ..!!!
                  Setelah jam makan siang, Metha pun diminta untuk menemui Dira dan memberikan folder gambar-gambar yang dipotretnya tadi pagi bersama Pipit dan Dira. Berhubung letak meja Dira hanya diseberang meja Metha. Ia pun menuju meja Dira yang tengah kosong dan berkesempatan melihat foto-foto yang ada di atas meja kaca itu.
“Lihat apa ?”tanya Dira datar. Metha pun menegakkan badannya yang membungkuk.
“Foto itu foto ibumu yaa ?”Tanya Metha. Dira tidak menjawab, ia duduk di kursi lalu mengulurkan tangan. “Mana foto-foto yang tadi pagi ?”Tanya Dira dengan nada yang masih datar. Metha pun menyerahkan flashdisk yang sudah dipersiapkannya sejak tadi.
“Itu foto ibumu kan ?”Tanya Metha lagi. Dira tak menjawab, ia fokus dengan computer kantor di hadapannya.
 “Eh Dir, kamu nggak tulikan ?”sindir Metha. Dira pun menatapnya. “Ngapain sih nanya-nanya ?!” ujarnya ketus.
“Iiih, galak amat sih. Kayak herder. Hehehe..” Metha pun tertawa kecil. “Kalau cuma mau ketawa-ketawa, bukan disini tempatnya.”tambah Dira.
Sorry…jadi orang jangan galak-galak donk. Senyuuum…biar gak cepat tua.”goda Metha usil. Entah kenapa dia jadi demen banget dijutekin sama cowok cool ini. Dira diam kembali. “Iya, itu ibuku,”ujarnya akhirnya. Metha mengangguk mengerti. “Nggak nanya siapa gadis kecil disebelahku ?”sindir Dira.
“Nggak, aku yakin dia bukan anakmu, pasti adikmu. Kamu belum married kan ?”tanya Metha. “Belum.”jawab Dira.
“Jelaslah, cewek mana sih yang mau sama cowok herder. Hahaha.. !”sindir Metha dan menjauh dari meja Dira.
          Pukul 4 sore Metha meninggalakan kantor dan menuju terminal bus di seberang jalan. Sementara menunggu bus yang kosong, ia tersenyum mengingat ekspresi wajah Dira tadi siang. Hihi, dapat info lagi. Doi single !! batin Metha dengan senyum manisnya. Tapi sayang, cuaca nggak bersahabat, sedang girang-girangnya ia melamun, awan tampak mendung.
Lalu turun hujan rintik-rintik. “Waduh, nggak lama hujan deras nih,”batin Metha khawatir. Karena rumah Metha di dalam gang dan bus kota hanya bisa mengantarnya di jalan besar, dia pasti basah kuyup setibanya di rumah. Beruntung lewat sepeda motor dan berhenti dihadapannya. Lalu turun Dira dan menghampiri Metha. “Huft, Dira. Kirain tukang ojek ! hehe..” sapa Metha dengan guyonannya. “Tadinya mau ngajak pulang bareng tapi mendingan cari penumpang lain deh…”ujar Dira dan hendak meninggalkan Metha.
“Eeh,sorry… gitu aja marah. Aku kan becanda Dir,”panggil Metha. “Mau ikut nggak?”Tanya Dira, masih dengan ekspresi datar. Metha mengangguk.
         Tepat pukul 5 mereka tiba di halaman rumah Metha. Dira pun membuka helmnya dan memperhatikan rumah Metha. “Rumahku jelek yaa ?”ucap Metha. “Nggak, biasa aja.” jawab Dira datar. “Mampir yuk!”ajak Metha. “Nggak deh, lain kali aja.”jawab Dira. Tapi Metha menggandeng tangannya dan menuntun turun dari motor lalu masuk ke dalam rumah.
“Tinggal sendiri ?”tanya Dira. “Nggak, aku tinggal bersama pamanku.”jawab Metha
Dira melihat ke sekeliling rumah dan mendapati keadaaan rumah yang lagi kosong. “Paman Billy chef di rumah makan Idaman. Dia pulang malam, biasanya sih dia pulang siang trus balik sore, tapi sejak ongkos angkot naik, dia udah jarang bolak-balik.”jawab Metha yang mengerti maksud Dira. Metha pun meninggalkan Dira sebentar, lalu kembali dengan sepiring sushi dan secangkir teh hangat.
“Cobain deh, ini asli buatan chef.”ujar Metha. Tanpa ragu-ragu Dira pun melahap sushi beraroma udang yang kemarin dilihatnya itu.
“Orang tuamu ?”Tanya Dira penasaran, Metha menggeleng.
“Aku sudah yatim piatu sejak berusia 9 tahun. Ibuku meninggal akibat kanker darah. Sedangkan ayah pergi dan nggak pernah kembali. Sejak saat itu aku menganggap aku yatim piatu karena sudah 10 tahun aku hidup bersama paman Bill.”
Dira menghela nafas. “Sorry…”ucapnya masih datar. Metha tersenyum, “Bilang maaf aja kok nggak ikhlas sih..”ujar Metha heran. Dira pun tersenyum kecil. “Ah, gila. Senyum pertamanya memang kereeen !!! batin Metha dalam hati. Setelah itu, Dira pun berpamitan pulang. Sebelum akhirnya meninggalkan rumah Metha, ia berkata “Thanks sushinya. salam sama pamanmu.” Metha pun mengangguk, “sama-sama,thanks udah mau nganterin & salam sama ibumu yaa, juga adik kecilmu.hehe..”Metha pun terkekeh. Dira tak menyahut, ia menutup kaca helmnya dan melaju kencang. Metha masuk kekamarnya sambil terus mesam-mesem nggak keruan. Hihihih…

CHAPTER 3
                   Pagi ini Metha semangat banget pergi ke kantor. Kira-kira kejadian apa lagi ya yang bakal aku alami sama cowok cool itu ?batinnnya. Tepat pukul 8 pagi, Metha diminta menghadap Dira. Ia pun pergi menuju meja Dira yang sudah ada Pipit terlebih dulu. Belum lagi Metha bertanya ada apa, Dira meraih berkas di lacinya dan membantingnya di atas meja. Bruk..!!! Metha pun tersentak dan memasang wajah bingung sebingung-bingungnya.
“Gara-gara laporan konyol ini, aku dapat teguran dari pimpinan.”ujar Dira ketus. “Laporanku ?”ucap Metha heran.
“Memangnya siapa yang kuminta tulis hasil pemotretan diprotokol kemarin? Hah ???”Kata Dira. Gila..!! Ekspresinya sereem banget, emang laporanku salah apa sih ?batin Metha. Dira menyerahkan laporannya dan mempersilahkan Metha pergi dari hadapannya. Pipit pun mengikuti Metha hingga ke mejanya. Perlahan Metha membolak-balik laporan hasil kerjanya dan mendapati flashdisk di dalamnya. “Waduh, gambarku juga dibalikin.”ujar Metha nggak habis pikir.
“Yaa, kan aku udah bilang Met, jangan lupa didelete gambar-gambarnya Dira sebelum orang-orang kantor tahu kalau kamu naksir berat sama doi. “sahut Pipit. Metha pun menatap lurus kedua mata Pipit dan mencoba mengingat sesuatu. Lalu ia membolak-balik laporan yang dikembalikan oleh Dira tersebut. Benar saja ternyata memang ada foto Dira terselip diantaranya. Foto itu hasil print-an Metha kemarin. Metha pun menepuk keningya, lalu memandang Pipit dengan cemas. “Santai aja mukanya Met, dunia udah tahu kok. Hihihi..”canda Pipit sambil tertawa geli lalu ia menjauh dari meja Metha.
***
“Aduuh, paman sok tahu sih. Kenapa nggak nanya Metha dulu. Urusannya jadi brabe nih,”ujar Metha di telfon genggamnya.
“Kamunya udah tidur Met, laporan kamu tuh berserakan di meja kerja. Ya udah paman susun jadi satu aja.”jawab paman Bill diseberang handphonenya.
“Ah, ini ni yang Metha sebelin ama paman Bill, gak pernah mau nanya-nanya dulu, main ambil keputusan aja.”gerutu Metha.
“Hehe… makanya kalau mau tidur kerjaan tuh disimpun dulu donk. Masa dibiarin di meja. Jadinya, paman deh yang rapikan. Niatnya baik Met,”bela paman Bill.
“Tau ah, paman nyebelin. Gara-gara paman Bill masukin print-nan gambar-gambar itu Metha dapat masalah nieh,”kesal Metha dengan wajah yang merengut sejadi-jadinya dan nggak nyadar beberapa pasang mata tengah memperhatikannya.
“Ya udah, paman minta maaf ya sayang? Nggak lagi deh ikut campur sama kerjaan kamu,”ujar paman Bill mengalah.
“Iya deh, ya udah Metha mau ngadep bos dulu nih paman Bill, udah dulu yaa ?”ujar Metha yang menurunkan nada bicaranya.
“Eh, bentar dulu Met,”sahut paman. “Apalagi paman ?”Tanya Metha penasaran.
“Hmm, doi ganteng juga yaa ? Pantesan kamu naksir berat. Hihihi..” paman Bill terdengar tertawa geli disana, membuat Metha kembali dongkol. “Paman Bill rese banget sih, siapa juga yang naksir dia.”
“Hahaha…Buat apa ngeprint gambar doi kalau gak naksir ? Pacar kamu yaa ? Kenalin ma paman donk,”lanjut paman usil.
“Iih, paman apaan sih. Dia bukan pacar Metha titik, ass,” dan tut..tut..tut ! tanpa menunggu jawaban paman Bill. Metha memutus hubungan telefonnya dengan paman. Dan wajahnya tampak dongkol karena ejekan pamannya, lalu ia segera menuju ruangan manager.
Satu setengah jam pun berlalu, Metha keluar ruangan sambil mengusap keringat di dahinya. Lalu ia menuju ke mejanya untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh managernya tersebut. Ia pun berpapasan dengan Dira, tanpa sepatah katapun Dira melewatinya tanpa ekspresi.
 “Kayaknya dia beneran marah deh ma aku,”batin Metha. “Tuuh kan, ngelamuuun terus. Mikirin apa Met ? Buruan beresin kerjaan kamu biar cepat kelar,”tegur Pipit. Metha pun menengok ke arahnya. “Tuh kan, malah bengong,”lanjut Pipit sambil menggeleng, lalu ia duduk di atas meja Metha.
“Mikirin apa sih Met ? Dira ? Udaaah, gak usah pikirin dia,”
“Bukan, aku lagi mikirin tugas-tugasku aja mbak. Hehehe.. bejibun.”
“Laporan yang tadi ? terus gimana perkembangannya ?” Tanya Pipit serius.
“Laporannya diminta susun ulang, truus…”
“Terus ?” kedua bola mata Pipit membesar menatapnya.
Metha menggaruk kepalanya yang gatal. “Mbak Mona minta aku jepret ulang, di stasiun.”jawab Metha yang masih mengingat obrolannya dengan manager kantor satu setengah jam yang lalu. “Sama Dira,”lanjut Metha sambil celingukan, berharap yang disebut namanya nggak bakal dengar.. Diluar dugaan, Pipit tertawa lepas.  “Hahaha…! Itu masalahnya, bagus donk Met.”” Bagus apanya mbak ?” Tanya Metha heran. “Kamu bisa berduaan sama dia kan ?”canda Pipit lagi.
“Mbak Pipit kan, mulai lagi deh,”kesal Metha.
“Emang bener kan ?Eh, doi jomblo tuh,”bisik Pipit lagi. Metha tak menyahut.
“Hehehe, trus kapan mulai jepret gambar di stasiunnya ?”Tanya Pipit kembali serius.
“Besok pagi, nggak cuma stasiun mbak, lusa aku harus ambil gambar anak-anak sekolah di SMA Freedom. Terus laporannya mesti udah beres minggu depan. Disuruh buat artikel pula tentang anak-anak SMA. Huft, ribetkan ?”
“Semuanya sama Dira ?”Tanya Pipit serius.
“He-eh, dia editor aku mbak.” Jawab Metha pelan,
 “Syukur deh,”
“Aku kok malah disyukurin sih mbak !”Ketus Metha.
”Nggak gitu Met, syukur tim editormu bukan aku, soalnya aku juga lagi banyak kerjaan dan lebih syukur lagi aku gak perlu repot-repot dampingi kamu.”
“Iya sih, mbak Mona yang minta.”
“Ya udah, sering-sering aja masukin gambar Dira dilaporanmu, jadi kan banyak kesempatan bareng ama doi. Eeh lumayan tuh, jadikan kesempatan buat kenal Doi lebih jauh.”Kata Pipit setengah berbisik dan buru-buru meninggalkan Metha dengan tawa yang menggelegar, membuat Metha makin dongkol dibuatnya. Sesaat kemudian ia tertawa kecil, yeah.. doi jomblo…! Horeee. batin Metha lega.
Sepulang dari kantor, Metha mendapati Dira tengah siap-siap pulang. Cowok cool itu meraih jaket di kursinya dan beranjak pergi.
“Dira !”panggil Metha ragu, doi pun menoleh kearahnya dengan wajah datar. “Hmm, aku minta maaf soal gambar-gambar kamu yang ada dilaporanku.”
“Besok jam berapa ke stasiun ?”Tanya Dira tanpa basa-basi.
“Kamu sudah tahu soal itu?”Tanya Metha balik. “Mbak Mona yang kasih tau. jam berapa?”Tanya Dira lagi. “Hmm,jam 8 pagi.”jawab Metha.
“Ya udah, besok aku jemput jam 7,takut kejebak macet.”
“Haa, jemput aku?”Tanya Metha kaget. “Memang selain kamu, ada siapa lagi yang ditugaskan besok?”Tanya Dira lagi dan meninggalkan Metha yang masih bengong. “Jiaaah, dia mau jemput aku ?! Hem, Biarpun nggak dapat maaf, se’gaknya dia mau jemput.”batin Metha sambil cengar-cengir.
“Muke gile, doi emang cool banget. Huft.. gak sanggup deh lihat gayanya.”sambung Metha dalam hati.

CHAPTER 4
                             Pagi ini Metha bangun lebih awal, biasanya jam 5:30 tapi sekarang ia bangun jam 5 kurang. Setelah shalat subuh, ia pun menemani paman Bill di dapur sambil tersenyum manis.
“Tumben jam segini udah mandi, biasanya juga setengah enam baru bangun.”tegur paman Bill yang merasa aneh dengan Metha pagi ini.
“Hehe, jam 8 pagi aku ada pemotretan di stasiun.”jawab Metha. “Kan jam 8 nanti Met, baru juga jam 5 lewat dikit.”sahut paman. “Aku dijemput jam 7 pamaaan.”tegas Metha.
“Siapa, cowok itu ?” , Metha mengangguk. “Siapa dia, pacar kamu ?”Tanya paman. “Bukan, dia editor kantor yang ditugaskan dampingi aku.”
“Kamu suka sama dia ?”Tanya paman Bill yang cepat mengambil kesimpulan. Metha nggak bisa bohong itu pun mengangguk cepat, ia bersandar di dinding lemari dapur sambil memandang keluar jendela. “Dia beda man, bedaa banget.”ucap Metha mengingat. “Doi cool banget, dia cuek sama sekitarnya. Tapi dia perhatian kok, waktu itu aja dia yang antar Metha pulang, terus dia mau jemput Metha. Dia juga gak neko-neko, sederhana banget, gak pernah pake kemeja rapi seperti temen-temen kantor, cukup t-shirt berkerah dengan jaket cute. Dia gak banyak omong, kecuali diajak bicara itupun seperlunya aja. Teruuus dia juga punya senyum yang manis, sayangnya senyumnya gak pernah buat Metha. Hufft..tapi gak apa-apa deh. Metha seneng bisa deket ama Dira.”cerita Metha yang diakhiri dengan senyum manisnya.
“Oh, namanya Dira ? Paman pengen lihat, cowok mana sih yang bisa buat keponakan paman tergila-gila ???”ujar paman Bill.
Metha tersenyum geli mendengar penuturan pamannya. Kemudian ia meniggalkan dapur dan menuju kamar. “Metha ganti baju dulu man,”teriaknya sebelum menutup pintu kamarnya, dan benar saja pintu rumah pun terketuk. Paman segera menuju ruang tamu dan mendapati seorang pria yang tampaknya sedikit lebih tua  dari Metha tengaah tersenyum ramah ke arahnya. “Dira kan ? Masuk, Metha lagi siapsiap tuh.”ujar paman Bill gak kalah ramah. Dira pun masuk dan duduk di depan paman Bill. “Paman kok tahu nama saya ?”Pa man Bill pun tersenyum kecil. “Metha yang cerita soal kamu,”jawab paman Bill. Obrolan mereka pun berlanjut ke arah pekerjaan Dira yang sudah dijalani 4 tahun terakhir ini.  
Tepat pukul 7 lewat 30 menit Metha dan Dira tiba di stasiun, benar saja jarum jam belum menunjukkan angka 8, tetapi stasiun sudah dipadati oleh calon penumpang kereta api. Begitu padatnya, membuat Metha tertinggal jauh dibelakang Dira. Cowok cool itupun kembali dan menggandeng  Metha dan mereka pergi ke ujung stasiun yang agak renggang. Metha pun bernafas lega dan memegang pergelangan tangannya yang tidak digandeng Dira. Dira pun mendekatinya, “Sakit ?”Tanya Dira seraya memperhatikan tangan Metha. Metha meringis dan menurunkan tangannya. “Sedikit perih aja, kamu megangnya kekencengan,”jawab Metha. Dira meraih tangan Metha dan memerhatikan pergelangan tangannya, ada luka kecil disitu, sepertinya bekas kuku jari manis Dira yang memang sengaja dipanjangkan. Dira meniupnya dengan lembut, membuat Metha jadi gemetaran, hihihi…sampai-sampai telapak tangannya dingin gitu karena gugup. Aduh Metha, plis deh…! Jangan sampai doi tau kalau kamu naksir berat. Sejurus kemudian Metha menarik tangannnya dari pegangan Dira. Doi pun menatapnya heran “Gak papa kok, gak patah tulang juga. Jadi nyantai aja.”ujar Metha. “Kalau aku gak gandeng kamu kuat-kuat, kamu bisa ketinggalan di gerombolan sana.”
“Iya, aku tau.”jawab Metha singkat.
Sedang asyik-asiknya Metha memotret, ia melihat Dira yang tengah membeli minuman dingin, dihampiri oleh 2 lelaki bertubuh tegap yang memakai seragam serba hitam. Tampaknya Dira tidak asing dengan kehadiran keduanya, tampaknya mereka tengah membicarakan suatu hal yang sangat penting, sehingga harus membawa Dira menjauh dari pedagang asongan tadi. Metha tak lagi memotret, ia serius memerhatikan Dira dan kedua lelaki tersebut yang bertubuh gempal seperti algojo atau intel. Ia takut Dira kenapa-kenapa,maklum Metha naksirnya jadi tambah berat banget. Gara-gara tadi Dira meniup luka ditangannya. Hihihi… Seberat apa sih Met ? dan bener saja, sekarang obrolan mereka sedikit menegangkan. Tampak Dira sedang asyik menunjuk-nunjuk salah seorang diantaranya dengan ekspresi penuh amarah. Metha pun tidak tinggal diam, ia berlari menghampiri Dira dan menyaksikan secara langsung pertengkaran mereka.
Salah seorang pria bertubuh itu tegap itu mendorong Dira, membuat cowok cool itu terhempas ke belakang, Metha pun jadi terpancing emosinya. Lalu ia berdiri dihadapan pria tersebut dan mendongak menatapnya tajam. “Heh ! Gak usah main kasar donk, santai aja ngomongnya, gak usah dorong-dorong gitu, mentang-mentang gede ! Menang otot doank.” Ketus Metha kesal. Kedua pria tersebut saling melempar pandang, lalu mereka tertawa. “Udah berani bawa orang rupanya,”ucap salah seorang diantaranya. “Cewek pula.”sahut seorang lagi. “Kalau gue cewek lho mau apa ?”lirih Metha tajam. Entah dia dapat ide gila dari mana tiba-tiba berani nantangin 2 algojo ini, padahal dia tahu resikonya. Kalau gak diculik, dibentak-bentak atau dimaki-maki, bisa dipukul dan Metha pingsan ditempat. Gawat !!
“Berani juga lho nantangin kita, beruntung tuh cunguk punya cewek kayak loe. Tapi mending loe mundur aja, jauh-jauh sana.”ujar salah seorang dari mereka disambung tawa. Dira segera menarik Metha ke belakang “Cabut sana,”lirih Dira. Keduanya menatap Dira tajam, lalu salah satunya memukul pipi kiri Dira, membuatnya tersungkur di kaki Metha. Metha pun membantunya berdiri, tampak menetes darah kental dari hidung Dira, membuat Metha gemetaran karenanya. “Apa-apaan sih, jangan main kasar donk !”bentak Metha yang mulai takut dengan situasi seperti ini. “Dimana ibumu sekarang ?”bentak salah seorang diantaranya. Bukannya menjawab, Dira membalas pukulan pria. Lumayan kuat sehingga membuatnya terhempas ke belakang, wajahnya pun memar. Melihat temannya dipukul, seorang pria lainnya pun memukul Dira, meski tak membuatnya tersungkur  tetapi cukup membuat Dira meringis  menahan perih. Dira pun melayangkan tendangannya dan mengenai perut pria tersebut. Ketika yang satu lagi akan membalas tendangan, datang security  menghampiri mereka sambil meniup fluit. Kedua algojo tersebut lari terbirit-birit, tinggallah Dira seorang dan diminta ke kantor untuk memberikan penjelasan. Dira mengikuti kemauan bapak kepala keamanan tersebut dan menyadari sesuatu, ia pun berbalik dan mencari sosok Metha yang tadi bersamanya. Dira benar-benar lupa, yang ia ingat terakhir Metha melerai pertengkaran mereka. Ia pun mendapati seorang cewek yang sangat dikenalnya tengah duduk memeluk lutut dengan wajah pucat tanpa ekspresi di sidut stasiun. Dira segera berlari ke arahnya, dan jongkok dihadapan Metha. “Met,”ucapnya pelan. Metha menatapnya, ini kali pertama Dira menyebut namanya, penuh dengan perasaan pula tapi Metha tak berdaya, ia shock.  Seumur hidupnya ia tidak pernah melihat pertengkaran berujung perkelahian, di depan mata pula. Ketika Dira mendapat pukulan kedua tadi, Metha berlari menjauh dan menyaksikan keributan tersebut dari sudut stasiun. “Met,”panggil Dira lagi. Ia membantu Metha berdiri dan menggandengnya ke kantor kepala keamanan.
Sesampainya di kantor, Metha duduk disebelah Dira tanpa memberikan laporan apapun, ia terdiam. Sedangkan Dira memberikan laporan palsu, bahwa kedua algojo tadi adalah perampok yang hendak merampok kamera Canon 5000d milik Metha. Atas alasan melindungi Metha, Dira terpaksa memukul mereka. Alhasil, kepala keamanan tersebut percaya dengan penjelasan Dira. Metha hanya mengangguk pertanda membenarkan laporan Dira. Merekapun dipersilahkan melanjutkan kegiatan memotretnya.
        Metha dan Dira beriringan keluar kantor keamanan. Dira memerhatikan Metha yang sejak tadi hanya diam, wajahnya sudah tidak sepucat tadi tetapi tampak lesu karena lelah. Tidak ada senyum diwajah Metha yang biasanya tampak selalu ceria. Dira mengajaknya duduk, “Kita break memotret,”ujar Dira. Metha menoleh ke arahnya,”Kenapa ?”Tanya Metha datar. “Kamu yang kenapa?”Tanya Dira balik. Metha menggeleng pelan. Dira memegang tangannya. “Met,”panggilnya pelan, berharap Metha akan menjelaskan sesuatu. Nothing, Metha menarik tangannya lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, lalu terdengar isak tangis. Metha menangis. Dira jadi bingung, ada apa ini ?batinya gundah.
“Aku takut Dir,”ucap Metha. “Takut apa ?”Tanya Dira tidak mengerti. “Aku takut kamu kenapa-kenapa, aku takut kalau mengingat perkelahian tadi. Aku tidak pernah melihat keributan seperti tadi Dir, sungguh.”ujar Metha diikuti isak tangisnya.
Dira menarik nafas, ia kaget mendengar penuturan Metha. Cewek ceria yang dikenalnya di kantor ini ternyata kuat, ia mampu menutupi perasaannya dari Dira. Bahkan Dira tidak menyangka kalau keributan tadi bisa membuatnya menangis. Pantas saja wajah Metha tadi tampak pucat. “Sorry… aku sudah buat kamu nangis. Aku gak bermaksud membuat perkelahian kayak tadi. Aku gak bisa kendalikan emosiku Met,”ujar Dira dengan nada penyesalan. Tangis Metha mereda, dihusapnya kedua pipinya yang lembab, “Iya aku mengerti. Nggak papa, aku Cuma shock aja tadi,”ucap Metha diakhiri senyum kecil. Dira meraih saku jaketnya dan mendapati tisu, dipegangnya pipi kanan Metha, “Tapi kamu masih nangis, aku nggak bisa lihat cewek nangis.”ucap Dira seraya menghapus air mata Metha. Membuat cewek manis ini terpaku menatapnya. Kedua bola mata Dira yang lembut itu seolah-olah menggambarkan sosok Dira yang sebenarnya. Metha yakin Dira nggak secuek yang dia pikirkan, nggak sedingin yang dikenal teman-teman kantor selama ini, ia cenderung perhatian dan penuh tanggung jawab.
“Met,” Dira kembali memanggilnya. Metha pun tersentak dan bangun dari lamunannya. Dira yakin masih ada perasaan takut dari dalam hati Metha, dan Metha berusaha menutupi semuanya. Ia memilih diam daripada memaki-maki Dira yang sudah membuatnya merasa tidak nyaman dengan situasi menegangkan tadi. Metha bisa saja menelefon mbak Mona, manager kantor. Memintanya untuk mengganti editor pendampingnya atau langsung kembali ke kantor dan membiarkan Dira menyelesaikan masalahnya sendiri. Tapi Metha tidak seperti itu, ia memilih melawan kedua algojo tadi, meski ia tahu resiko yang akan menimpa dirinya. Ia berusaha membantu Dira meskipun sebenarnya Dira tidak memintanya, ia Metha yang kuat, penuh percaya diri dan ceria. Tapi sayang, Dira membuat wajah ceria itu menghilang karena tertutupi perasaan takut. Di mata Metha masih ada perasaan takut itu, setetes demi setetes air mata itu masih saja jatuh. “Kalau kita break, kita ke puskesmas aja yuk Dir, memar kamu harus dikompres supaya nggak bertambah parah,”ujar Metha yang memerhatikan memar di pipi kiri Dira dan hidungnya. Dira menggeleng pelan, lalu ia mendekap Metha ke dalam pelukannya, dibelainya rambut Metha yang hitam pekat itu. “Aku minta maaf sudah buat kamu takut Met, udah buat kamu gak nyaman di dekatku, udah melibatkan kamu ke dalam masalahku.”ucap Dira penuh penyesalan. Metha menangis dalam pelukan Dira,”Ya Tuhan, aku benar-benar merasa nyaman di dekatnya.”batin Metha dalam hati. Ia memang takut, perasaan itu masih ada.
“Aku memang takut Dir, banget. Aku nggak menyangka pemotretan hari ini harus berakhir dengan keributan.”ucap Metha pelan, lalu ia melepaskan diri dari Dira. “Tapi sekarang aku merasa lebih baik Dir, makasih.”ucap Metha diakhiri senyum manisnya. Dira mengacak rambutnya yang panrok itu, dan tersenyum lega. Oh my God, senyum itu buat gue,”batin Metha tidak percaya.




CHAPTER 5
          Mereka pun meninggalkan stasiun dan sekarang sudah berada di ruang tamu Metha. Cowok cool ini menyeruput es teh buatan Metha, “Gimana ?”Tanya Metha. Dira tersenyum, “Fresh,”jawab Dira dan tersenyum lagi. Metha senang melihat senyum Dira untuk kesekian kalinya. “Mereka siapa Dir ?”Tanya Metha. Dira janji ingin menceritakan sesuatu itu pun segera menarik nafas, “Anak buah papaku,”jawab Dira singkat. “Anak buah Papamu? Trus mau apa mereka? kenapa mereka menyakitimu ?”tanya Metha bertubi-tubi. “Itu suruhan papaku. Mereka mau bertemu dengan mamaku.”
“Hah, suruhan papamu ? Aku gak mengerti,”
“Iya, papa dan mama sudah lama hidup masing2. Aku ikut mama, sedang adik perempuanku satu-satunya ada sama papa. Dari dulu papa ingin membawa mama kembali bersamanya tetapi mama nggak mau. Makanya algojo-algojo Papa selalu memaksaku memberitahu keberadaan mamaku.”
“Kok begitu ? Kenapa kamu sembunyikan mama mu Dir, ?”
“Papa itu orang jahat Met. Dia pengusaha licik, menghalalkan segala cara untuk mencapai kesuksesan. Mamaku pisah karena papa ringan tangan dan aku nggak akan ngebiarin penjahat itu mengambil mamaku.”ucap Dira emosi. Lalu ia tertunduk sedih, Metha memegang pundaknya.
“Lima tahun aku nggak ketemu Dini dan aku nggak mau hal itu juga terjadi sama mama,”ujar Dira.
“Kenapa kamu nggak laporkan polisi ? Kasus seperti tadi sama aja kejahatan Dir.”
“Aku nggak mau seorangpun tahu tentang ini,”ucap Dira lantang.
“Maksud kamu ?”Tanya Metha. “Cuma kamu yang tahu kisah keluargaku ini Met. Karena kamu sudah jadi saksi secara tidak langsung.”jawab Dira. “Terus, sampai kapan kamu mau dikejar-kejar algojo kayak tadi Dir ? Seumur hidup ?!”tanya Metha lantang.
Dira menoleh menatapnya, memegang kepalanya lalu menggeleng pelan. “Aku nggak tahu Met, bener-bener nggak tahu,”
“Kamu harus menyelesaikan semuanya Dir.”saran Metha. “Menyerahkan ibuku ke mereka? Nggak akan Met,”
“Pasti ada cara lain Dir, kita harus cari tahu itu.”
“Kita ?”ulang Dira kaget. “Iya, aku dan kamu akan menyelesaikan semua ini, aku gak akan biarkan kamu dikejar-kejar  algojo-algojo itu Dir,”
Dira terdiam, ia tidak menyangka Metha akan berfikiran untuk membantunya, padahal sikapnya selama ini begitu dingin ke cewek yang baru dikenalnya ini. Tetapi respon Metha begitu baik terhadapnya.

***
Malam ini Metha gak bisa tidur. Berkali-kali ia membolak-balik badannya kesana-kemari. Metha gundah, ia ingin sekali membantu Dira menyelesaikan masalahnya. Namun, ia juga tidak ingin mengkhianati Dira dengan menceritakan kejadian tadi dengan orang lain. Dan satu-satunya orang yang ia kenal memiliki banyak ide adalah paman Bill. “Kenapa belum tidur Met,”sapa paman Bill yang tiba-tiba muncul di depan Metha. “Eh paman, Metha belum ngantuk aja.Paman kapan pulang ?”Tanya Metha balik. Pama Bill terkekeh.
“Dari tadi paman di depan pintu kamu Met, manggil-manggil kamu kirain kamu udah tidur,tahunya pintu kamar kamu gak dikunci. Kenapa belum tidur ?”
“Hehe, aku gak dengar paman panggil aku tadi, “jawab Metha. “Jelaslah, kamu ngelamun gitu. Kenapa belum tidur?”Tanya paman Bill sekali lagi. “Hem, belum ngantuk aja,”jawab Metha lagi.
“Seharian kerja buat kamu nggak ngantuk ? Kenapa Met, lagi punya masalah ?”Tanya paman yang ragu dengan jawaban Metha dari tadi. “Hem, gak juga sih. Gak papa kok, beneran deh,”jawab Metha. “Ya udah, kalau pengen cerita sesuatu, call me ya ?”
“Hehe, ok bos !”jawab Metha. Paman Bill tersenyum dan segera menutup pintu kamar Metha. Huft..Metha menarik nafas lega, ingin sebenarnya ia tidur sekarang tapi bayang-bayang Dira begitu melekat dibenaknya. “Ya Tuhan, apa aku benar-benar sudah jatuh cinta dengan cowok dingin itu ?”batin Metha. Lalu ia tersenyum manis dan membawa bayangan Dira ke dalam mimpinya.
                                                     

 ***
           Pagi ini Metha dan Dira ada tugas mengambil gambar di SMA freedom. Mereka berangkat lebih awal dari yang kemarin. Selain takut terjebak macet, mereka juga akan menghadap Direktur sekolah untuk meminta ijin karena mereka akan mengambil gambar di sekolah itu.
Tepat pukul 7, mereka menghadap Direktur dan mendapat ijin mengambil gambar di kelas 3 jurusan pariwisata. Beruntung para siswanya sangat mendukung, mereka antusias sekali menyambut Metha dan Dira. Setelah memperkenalkan diri, mereka pun mengambil posisi di sudut kelas sambil mengarahkan Metha. Dira sesekali menoleh ke arah seorang siswi yang berambut spiral panjang dan mengenakan softlens itu. “Siapa sih dia ? Bisa mengganggu konsentrasi Dira ?”batin Metha penasaran.
2 jam pelajaran pun berakhir. Murid-murid berhamburan  keluar kelas, Metha tersenyum melihat tingkah mereka, jadi pengen sekolah lagi, batinnya. Lalu seorang cewek menghampiri mereka, ia tersenyum manis ke arah Dira. “Inikan cewek yang tadi liat-liatan sama Dira. Mereka ada hubungan apa ya, kelihatan begitu akrab ?”batin Metha lagi. “Apa kabar Dir ?”sapa cewek itu ramah.
“Baik. Kamu sendiri gimana ?”Tanya Dira balik.
“Aku juga baik, nggak nyangka ya kita ketemu disini.”
“Hmm..aku pikir tadi aku salah lihat.”ujar Dira, cewek itu tersenyum manja.
“Kirain kamu lupa ma aku, udah lama banget yaa kita gak ketemu.” Lanjut Mhia, mendengar hal itu wajah Metha berubah drastis. Hahaha, plis deh Met, jangan sampai doi tahu kalau kamu jealous sama cewek itu.
“Ini pasti rekan kerja kamu kan Dir ? Aku pernah cari tahu soal kamu lewat mbak Pipit. Hai, kenalkan aku Mhia,”ujar Mhia ramah. Metha membalas jabatan tangannya lalu menyebut namanya.
“Btw udh dulu ya,kami mau break ke kantin. Yuk Met,” ajak Dira
“Eh tunggu,kebetulan aku juga mau kesana, barengan aja. Aku pengen ngobrol banyak  ma kamu.”Mhia menatap Dira. Merekapun menuju ke kantin. Dan benar saja, Mhia menanyakan banyak hal ke Dira, mulai dari kabar mamanya Dira, Dini, hingga perkembangan kasus papanya. Kasus??? Bukannya kata Dira gak ada seorangpun yang tau yaa? Bathin Metha heran. Mhia dan Dira keliatan begitu akrab, sampai-sampai Metha merasa cuma jadi obat nyamuk mereka, benar-benar nggak enak deh berada di posisi kayak gini. Beruntung handphone milik Metha berbunyi, ia pun menjauh dari mereka untuk mengangkat panggilan dari Pipit. Setelah kurang lebih 15 menit Metha berbicara dengan Pipit, ia pun buru-buru kembali ke kantin untuk memberi tahu kabar bagus yang baru saja ia dapat.
But, Nihil…! Meja mereka yang tadi, sudah di huni orang lain, lalu kemana mereka ?!
“Sorry, liat Mhia nggak? Tadi disini sama cowok tinggi pakai sweater coklat,” Tanya Metha ke anak-anak yang lagi asik becanda itu.
“Oh Mhia, sama cowok cool itu kan? Kesana mbak, kayaknya mereka menuju taman belajar deh. Itu, tepat di belakang laboratorium IPA.” Jawab salah satu diantaranya. Metha mengucapkan terima kasih dan buru-buru menuju kearah yang yang di jelaskan tadi.
            Sesampainya di belakang lab, Metha segera mencari sosok Dira ,ia menoleh kesana-kemari, ”taman belajar kok sepi begini sih,” Bathin Metha, dan ia mendapati Dira dan Mhia tengah duduk di salah satu pendopo disana. Metha mengurungkan niatnya untuk menghampiri mereka, kelihatannya mereka memang sengaja datang kesini untuk membicarakan sesuatu, tampak Dira terdiam sambil tertunduk mendengarkan pembicaraan Mhia, sepertinya memang serius. Metha pun memilih menunggu Dira disini, di belakang laboratorium IPA. Ia   menyandarkan kepalanya di dinding lab, sembari memainkan cameranya. Lalu ia meng-zoom Dira dan Mhia disana. Dasar usil..!!!
Metha tidak tahu pasti apa yang sedang mereka bicarakan, yang jelas sejak 10 menit Metha memerhatikan, Dira hanya tertunduk dengan gaya cueknya. Metha pun melirik jam tangannya, sudah 20 menit, hampir setengah jam? sampai kapan aku harus menunggu ?! bathin Metha mulai bosan. Tiba-tiba Dira beranjak dari duduknya dan mulai menjauh dari Mhia. Lalu cewek itu mengikutinya, menarik tangannya, hingga langkah Dira terhenti. Metha pun meng-zoom gambar mereka, dan lebih dekat lagi. Ia pun bisa melihat dengan jelas ekspresi Dira. Cowok cuek itu membisu, dan yang benar saja, Mhia memeluknya dari belakang, Metha kaget melihat aksi nekat Mhia, mulutnya membulat membentuk huruf O. Dira tidak membalas pelukannya, ia pun tidak menghindar. Di biarkannya kedua tangan Mhia melingkari pinggangnya. Metha menurunkan cameranya. Ia meninggalkan mereka. Lalu buru-buru mencari toilet. Ia bertanya kesana-kemari dimana keberadaan toilet.
           Sudah 15 menit lamanya Metha mendekam di dalam toilet, ia berdiri didepan washtafel sambil terus mencuci muka berulang-ulang. Ia merasakan ada yang mengganjal didadanya, lalu menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya pelan-pelan.  “Dia pasti mantan pacar Dira, mereka benar-benar dekat.” Bathin Metha, ia tidak mengeluarkan sepatah katapun. Ia pun tidak sanggup mengingat kejadian yang dilihatnya. Kabar bagus yang tadi didapatnya dari Pipit, di lupakannya begitu saja. “ Apa mungkin aku sudah jatuh cinta?!” Metha kembali menarik nafas, lalu ia tertunduk, dan kembali mengangkat kepalanya. Lalu keluar dari toilet.
“Lama banget sih, berendam?” singgung Dira yang tengah bersandar di dinding pintu toilet. Metha menatapnya kesal, Dira pun tersenyum geli melihat ekspresi Metha. “biasaa aja donk mukanya, nggak usah di jelek-jelekinin gitu.” bisik Dira dengan senyum usilnya. Metha menatapnya sekilas dan berlalu. Ia benar-benar nggak mood bercanda, tiba-tiba saja ia jadi malas memotret. Aduuh… Metha, cemburunya biasa aja donk..!!!
“Kita  ambil gambar di perpus yuk Met,” ajak Dira. Metha tidak menyahut, ia melangkah beriringan dengan Dira menuju perpustakaan.  Sesampainya disana sudah ada murid kelas 3 jurusan pariwisata. “ah, kenapa mereka lagi sih!” pekik Metha, Dira pun menoleh, “memangnya kenapa dengan mereka?” Tanya Dira heran. “bosen aja.” Jawab Metha datar.
Satu jam setengah pun berlalu, Metha dan Dira mengakhiri pemotretan hari ini. Merekapun berpamitan meninggalkan sekolah,dan Mhia menghampiri mereka.”Dir,”panggil Mhia lembut, Dira menoleh,”Semoga ini bukan pertemuan kita yang terakhir yaa,” ucap Mhia penuh harap. Dira tersenyum, “jangan terlalu berharap,”jawab Dira datar, lalu meninggalkan perpustakaan. Sesampainya diparkiran, 2 orang laki-laki turun dari mobil Jeep hitam dan menghampiri mereka. Algojo itu lagi. Dira tidak perduli,ia tetap menggunakan helmnya dan mulai menstarter motornya. “Hei,” ucap algojo itu sambil memegang lampu depan motor Dira, Metha menatapnya serius. “Aku minta kalian pergi jauh-jauh,sebelum aku menelepon polisi dan kalian benar-benar dijebloskan kepenjara. Mengerti !” ujar Metha dengan nada tinggi. Kedua algojo tersebut pergi,sebelum akhirnya menjatuhkan sebuah kertas yang dilipat-lipat. Dira dan Metha pun meninggalkan SMA Freedom, lalu Dira memarkir motornya diponggir jalan di bawah pohon. Metha pun turun dan menatapnya heran, “Mau ngapain?” Tanya Metha. “Makan.” Jawab Dira, Metha mengernyitkan dahi, disini kan gak ada rumah makan, atau warteg, apalagi restoran. Bathin Metha heran. “Disana !” tunjuk Dira disebrang jalan. Disana terpampang jelas sebuah banner “Naslap Yuhui..!” Dira pun menyebrang diikuti Metha.
“Mau makan apa?” Tanya Dira
“Emangnya ada apa selain nasi lalap?” Tanya Metha balik
“Ada bakmi, nasgor, mie ayam,tapi yang terkenal yaa nasi lalapnya.”
“ya udah, nasi lalap aja.” Jawab Metha datar.
“Naslapnya 2 bang..! es tehnya juga 2 yaa..!” teriak Dira pada pelayan yang kelihatannya sudah tak asing lagi bagi cowok cuek ini.
Sambil menunggu pesanan datang. Metha mengeluarkan handphonenya lalu mengasikkan diri bermain handphone. Sedang asyik mengucik-ngucik handphonenya, Dira pun asyik memerhatikan gadis manis dihadapannya. “Biasa aja ngeliatnya, gak usah gitu-gitu banget deh,”sindir Metha. Dira pun tertawa geli.“Apanya yang lucu ?”singgung Metha lagi, tanpa melepas handphone dari tangannya. “Kenapa sih, dari tadi sinis aja ? Cemberut mulu,”Tanya Dira. “Biasa aja. Emang kelihatan begitu ? Perasaaan kamu aja kali,”sahut Metha datar. “Kamu emang gak banyak omong, kamu itu sosok cewek yang ceria dan kritis,tapi hari ini kamu mendadak jadi dingin dan sensitive, lagi dapet yaa,” guyon Dira. Metha meletakkan handphonenya di atas meja, lalu menatap Dira. Lurus.
“Bukannya kamu yang dingin ? Gak pernah mau menyapa duluan dan sok cool ama orang-orang di kantor.”protes Metha. Dira tersenyum kecil, “it’s my self “ kata Dira singkat.
Metha tidak menyahut lagi karena pesanan mereka sudah datang, ia mencelupkan tangannya di kobokan dan melahap sayap ayam nasi lalap itu. “Ah dasar Dira, gak baju, gak makan, berantakan banget sih,”batin Metha yang melihat jaket Dira terkena sambal. Tiba-tiba muncul Mhia, cewek itu langsung mengambil posisi duduk di samping Dira. Metha celingukan, “dari mana datangnya nih anak, nyelonong aja. dasar jin.” Kata Metha dalam hati. “Ya ampun Dir ternyata kamu masih sering makan disini yaa ?”ujarnya sumringah. “Kebetulan lewat,”ucap Dira tanpa menatapnya. “Masih sering ? berarti ini tempat favorit mereka donk !”batin Metha lagi. “Kamu masih seperti yang dulu ya Dir, kalau makan gak pernah rapi,ampuun deh,”ucap Mhia sembari mengelap sambal dijaket Dira dengan tisu. “masih seperti yang dulu ?! ungu kale..!!” sahut Metha, tentunya didalam hati. Metha menyeruput es jeruknya hingga habis. Wah ! kayaknya ada yang termakan api cemburu nih, sayap ayam aja sampai habis tanpa sisa, trus kemana tulang-tulangnya ? hahaha….
“Aku tadi lewat sini juga, laper banget sekalian makan siang deh.”ucap Mhia. “Huh, siapa yang nanya ?!”umpat Metha masih di dalam hati. Dira asyik melahap nasi lalapnnya, sedang Metha sudah lebih dulu memakan 4 potong sayap ayam tanpa sisa. “Hmm, sebenarnya aku pengen banget diantar pulang ama kamu,”ujar Mhia manja. Dira menoleh, “Gak bisa,”jawab Dira datar.
“Gak papa Dir, aku naik angkot aja.” kata Metha lalu mencuci tangannya dan meraih tas selempangnya. Dira menatap Metha heran, “Tuh kan Metha aja ngerti,”ujar Mhia masih dengan nada manja. Nggak ngerti banget sih,kalo ada yang cemburu berat. Metha pun buru-buru beranjak dari duduknya, “Kebetulan aku ada urusan penting. So, thanks Mhia.”kata Metha & meninggalkan mereka berdua dengan langkah tergesa-gesa. Mhia melambaikan tangannya. Duuh, nggak berperasaan banget sih..!
                                                         
***
              Pukul 8 malam Metha duduk di depan meja belajarnya, membolak-balik laporannya & membayangkan kejadian-kejadian yang ia alami seharian ini. Tangannya asyik membolak-balik laporan-laporan diatas meja sedangkan tatapannya kosong dan fikirannya melayang-layang tanpa arah. “Mereka pasti punya hubungan khusus, Dira yang cuek bisa begitu ramah sama Mhia.”batin Metha. “Jangan-jangan Mhia minta balikan? Huft.. gak mungkin !” Bathin Metha resah. Lalu seseorang menepuk bahu Metha. Ia pun menoleh, “Aah, paman. Ngagetin aja, kenapa gak ketok pintu dulu sih.” kesal Metha. “Udah dari tadi kali non, kamu asyik bengong gitu. Mikirin apa sih, sampai-sampai gak tahu paman sudah pulang?” Tanya paman heran. Metha menggeleng pelan. “Paman telfon ke handphone kamu tapi orang lain yang angkat.” kata paman Bill dan Metha sadar telah kehilangan hpnya. Ia sibuk membongkar tas dan laporan-laporannya diatas meja. Lalu ia teringat sesuatu, “Aduh, kayaknya ketinggalan di warung nih.” ucapnya panik. “Tapi ada sama Dira kok,” ucap paman lagi. “Syukurlah,” kata  Metha dan kembali bengong.
“Hei bengong lagi. Lagi bête ya?” Tanya paman. “Banget.” jawab Metha dongkol. “Kenapa? bukannya seharian ini bareng Dira yaa?” kata paman lagi. “Aku tadi lihat dia dipeluk sama cewek SMA paman.” Paman Bill manggut-manggut mengerti lalu asyik mendengarkan cerita Metha. “Aku yakin mereka  punya hubungan khusus.”kata Metha. “Tahu dari mana ?”Tanya Paman Bill santai. “Yaa tahu aja, kelihatan banget kok Paman. Dira ramah gitu sama dia,”
“Hahaha.. ini nih kalau orang lagi cemburu, bawaannya curigaa mulu,”ujar paman usil. “Apaan sih Paman, siapa yang cemburu.”kesal Metha. “Kamulah, masa paman sih !”
“Nggak.Cuma bete aja sama Mhia dan Dira.”jawab Metha kesal. “Hahaha.. apapun itu menggambarkan perasaanmu sama Dira. Coba keluar, kayaknya ada yang ngetok pintu.” Lanjut paman.
Metha tidak menyahut, ia pun beranjak dari duduknya dan menuju ruang tamu. Ia membuka pintu dan melihat ada tamu. Dira…??? Metha tidak menyapa, ia dongkol banget sama cowok ini, buat Metha sakit hati. Kebayang nggak gimana sakitnya ngeliat cowok yang kita sukai pelukan sama cewek lain, dan rela ngeliat dia naik angkot demi Mhia. Mata Metha pun berkaca-kaca. “Ada apa ?”Tanya Metha datar. Plisss, jangan jatuh sekarang, aku gak mau dia ngeliat aku nangis, batin Metha memohon. Be late… !
“Aku kesini bukan mau liat kamu nangis,”ujar Dira sembari mengusap air mata Metha dengan jemarinya. “Ya Tuhan, kenapa sih dia selalu ngusap air mataku ?”batin Metha yang kemudian menghindar dari jari-jari Dira. “Kamu sakit ?”Tanya Dira. Metha menghapus air matanya dengan kedua telapak tangannya dan mencoba tersenyum. “Nggak, aku kalau kecapean ya kayak gini, “ucap Metha. Aah, itu bukan Metha. Cewek inikan tipe cewek tegar dan pekerja keras, dia nggak mudah nangis kecuali memang dalam kondisi darurat dan menyayat hati.
Lalu Metha duduk di tangga dan diikuti Dira di sebelahnya. “Nih,”ujar Dira mengeluarkan handphone Metha dari dalam saku sweater abu-abunya. Metha meraih HP tersebut dan kembali mengantonginya, lalu ia terdiam dengan tatapan kosong. Dira menatapnya lalu menarik hidungnya, membuat Metha tersentak. “Apaan sih Dira, ngagetin aja.”kesal Metha. Dira tersenyum geli melihat ekspresi Metha. “Tadi kenapa pulang duluan ?”Tanya Dira. “Yaa kan Mhia minta dianterin ama kamu, masa kita mau bonceng tiga.”jawab Metha. “Hmm, tapikan aku belum mengiyakan permintaan Mhia.”ujar Dira. “Harusnya kamu gak pulang naik angkot Met, soalnya aku gak enak ama Paman Bill. Aku kan yang bertanggung jawab penuh atas kamu. Apalagi waktu pamanmu nelfon kamu gak ada ditempat, fiuh.”ujar Dira lagi. “Yaa habisnya Mhia minta dianterin pulang sih, dia ngomongnya terang-terangan pula,” Metha mencoba membela diri. Dira mengatur nafas.
“Mhia memang gitu orangnya, manja. Jadi dimaklumi aja,”ujar Dira. Metha pun menoleh, ia pengen tahu lebih jelas soal Mhia dan Dira. “Emm, kamu kenal dekat ya sama dia ?”Tanya Metha penasaran. “Kelihatannya gimana ?”Tanya Dira balik. “Deket banget. Kamu cuek orangnya tapi sama Mhia kamu begitu ngerespon dia dengan baik.”jawab Metha. “Owh.. aku kesini bukan mau ngebahas itu, yang aku mau confirm, kenapa kamu gak bilang kalau besok libur? Bukannya Pipit suruh kamu kabarin ke aku ya ?”Tanya Dira. Metha terkekeh, “Hmm, sori aku lupa,”jawab Metha. “Btw, artikel ma laporan kamu udah kelar belum?” Tanya Dira. Metha menggeleng, bahkan ia nggak kefikiran soal itu. Padahal minggu ini udah mesti diserahkan ke Mbak Mona manager Kantor Majalah. Kefikiran Dira teruus sih !!! “Ntar aku bantu selesaikan deh,”jawab Dira. “Oh ya Dir, algojo tadi itu ninggalin kertas dilipat-lipat kecil di bawah motor kamu. Aku rasa mereka nggak mungkin cari perkara, kan kita masih di lokasi sekolah. Mereka nggak mungkin sebodoh itu mau ribut di tempat umum, pasti ada hal lain.”
“Emang gak sebodoh itu, tapi mereka benar-benar bodoh. Kertas yang kamu lihat itu nomor telfon papa.”
“Kenapa kamu cuekin gitu aja? Kan kamu bisa kontak ama Dini ?”saran Metha. “Mereka gak sebodoh itulah, lewat telfon mereka bisa dengan mudah melacak keberadaanku dan mama.”
Metha diam, dia benar-benar nggak mengerti jalan pikiran Dira. Seandainya dia tahu dimana keberadaan mama Dira, dia pasti sudah cari tahu apa yang sebenarnya diinginkan beliau. Metha ingin membantu Dira, tapi harus dimulai dari mana ?? 
“Dir, kamu tinggal sama mama mu ?”Tanya Metha. “Nggak. Aku ngekos. Mama tinggal di tempat tersembunyi,”jawab Dira. “Sendiri ??”Tanya Metha lagi. “Sama Bi Min. Udah betahun-tahun dia ikut mama, jadi aku percaya banget ama Bi Min.”jawab Dira. “Kamu gak takut mama mu kenapa-kenapa disana ?” Dira tidak menyahut.
”Kapan kamu mau ketemu mama mu lagi ?”Tanya Metha selidik. “Gak tahu.”jawab Dira. “Lho kok gitu. Memangnya kenapa ?harusnya kamu sering-sering nengok mama kamu donk”Kata Metha bawel. “Hmm…” Dira melirik jam digital di tangannya, lalu bangkit dari duduknya. “Aku pulang dulu yaa, udah malam,”sahut Dira. Metha ikut berdiri dan mengangguk menatap Dira. Cowok itu bergegas pergi dan melaju dengan motornya. Metha menutup pintu ruang tamu dan bergegas menuju kamar. “Met,”panggil paman. Metha menoleh. “Harusnya kamu kasih tahu dia mengenai perasaanmu itu.”ujar Paman. Metha tersenyum “Thanks paman, tapi belum saatnya. Aku tidur duluan yaa, met malam,”ujar Metha dan menutup pintu kamarnya. Paman Bill tersenyum geli, “Mimpiin Dira yaa Met,”teriaknya. “Pasti, tenang aja !”sahut Metha dari dalam kamar.
***
 Pagi, pukul 06.00…
Paman Bill menggedor-gedor kamar Metha, membuat Metha kaget dan buru-buru membuka pintu kamarnya. “Huaaa, Paman aku libur.”ujar Metha dengan kantuknya. “Eeh,ada tamu tuh !”ujar Paman Bill. Metha membuka sedikit matanya yang masih menahan kantuk itu, “Pagi-pagi gini, siapa?”Tanya Metha. “Liat aja sendiri, jangan lupa gosok gigi dan cuci muka.”ujar Paman meninggalkan Metha menuju dapur. Dia pasti lagi berkarya membuat menu baru. Tanpa berfikir panjang, Metha segera berjalan ke ruang tamu dan mendapati sosok yang sangat dikenalnya tengah berdiri di depan jendela menghadap keluar. “Dira ?”ucapnya setengah tidak percaya. Orang yang ia sapa menoleh, menatapnya lalu tersenyum geli. “Pagi gini? mau ngapain ?”Tanya Metha lagi masih tidak percaya. “Hehe, masih ngantuk yaa ?”Tanya Dira. “Banget.”jawab Metha yang memerhatikan penampilan Dira pagi ini, dia pake sweater coklat lagi. “Tapi kamu nggak lagi mimpi kok, Met” Sambung Dira lagi. Duuh, Metha jadi nyesel banget nggak ngikutin saran paman Bill untuk cuci muka dan gosok gigi dulu, huft.. Dira pasti mau pingsan deh cium bau naga dari mulut Metha. “Mau ngapain sih?” Tanya Metha yang mundur beberapa langkah dari hadapan Dira,” Mandi dulu sana, ntar aku kasih tau, busuk tau !” Ejek Dira, Metha menjulurkan lidahnya. Membuat Dira tertawa geli.
Setengah jam kemudian, “berendem ?”Singgung Dira bête, “lama banget sih, hasilnya gitu-gitu aja.” Sambungnya diakhiri tawa. “Bawel banget sih, siapa suruh nggak mesen gpl,” sahut Metha, Dira menarik pergelangan tangannya. “Yuk, aku sudah pamit sama paman.” Ajak Dira tergesa-gesa. “Eeh, bentaar, aku nggak bawa dompet.”teriak Metha, “Udaaah, pake dompet ku aja”jawab Dira. Metha bengong melihat paman Bill melambaikan tangannya di jendela dapur.
Di sepanjang jalan Metha berusaha mencari tahu,mau dibawa kemana dia pagi-pagi gini? Tapi Dira sama sekali nggak ngasih bocoran. Uh, Metha bête banget. “Kita mau kemana sih Dir?masih pagi banget, dingiin tau !” kesal Metha diboncengan motor Dira. Metha sebel aja, inikan kesempatannya bangkong, kalau perlu tidur seharian dan melupakan kerjaan sejenak. Tapi cowok tengil ini menculiknya pagi-pagi. Eits.. yakin loe cowok tengil ? sih tengil kesayangan loe donk Met, hahaaha..
“Udaah, nggak usah brisik deh,tinggal duduk doank.” Sahut Dira. Ih, beneran rese banget deh sih Dira. Udah nyulik, nggak ngasih tau lagi mau kemana. Metha benar-bener kedinginan, tetes embun di pagi hari membuat bibir Metha bergetar, ia meraba pinggang Dira, mendapati saku sweater disitu, segera dimasukkannya kedua tangannya. Dira tersenyum, “sengaja yaa, nggak pake jacket?” Goda Dira, “Apaan sih, sembarangan aja kalo ngomong. Gara-gara kamu nih nyeret-nyeret orang sembarangan, boro-boro pake jacket, ambil dompet aja nggak sempat. Huh !” Sembur Metha lalu buru-buru menarik tanganya. Tapi Dira dengan cepat memegang telapak tangan Metha. ”Disini dingin,” ucapnya pelan dan nadanya sedikit perhatian. Metha menahan senyumnya.
Mereka tiba di puncak satu setengah jam kemudian,Dira menggandeng Metha menapaki bukit. Di atas sana nampak sebuah rumah dengan beberapa pohon cemara di sekelilingnya. “Huft, keringetan deh, padahal dingin gini.” Ujar Metha, Dira tersenyum, “Masuk yuk !” ajaknya kepada Metha. Ia pun mengikuti Dira memasuki rumah yang rindang itu. Suasana didalam rumah begitu sepi. Lalu keluarlah pemilik rumah. Seorang ibu paruh baya beriringan degan orang tua rentan yang masih nampak kuat. Itu pasti mbok Min yang diceritakan Dira. Mereka tersenyum ramah menyambut kedatangan Metha dan Dira.
“Aku mau beli makanan dulu, temenin bunda ya Met,” ujar Dira lalu mencium kening Bunda. “Hati-hati sayang,” Pesan Bunda. Metha melongo melihat Dira yang begitu manis.
“Duduk yuk!” Ajak sosok ibu yang berambut gelombang itu.
“Ibu mamanya Dira yaa?”Tanya Metha ramah.
“Iya, panggil aja tante Debi.” Metha tersenyum lalu duduk disebelah tante Debi. “Mbok, tolong minumannya ya,” ujar Tante Debi, Mbok Min mengangguk sopan lalu kedapur.
“Siapa nama kamu Cantik?” tante Debi kembali ke Metha.
“Metha tante,” jawab Metha sopan
“Nama yang bagus,” puji Tante Debi, Metha tersenyum.
“Pasti Metha nggak tau kan kalau Dira ngajak kamu kesini?” Metha mengangguk.
 “Dira pernah cerita soal tante?” Tanya Tante Debi dengan nada serius. Metha kembali mengangguk, tante Debi tersenyum lembut.
“kamu…”
“Hm, partner Dira di kantor Tan,” potong Metha cepat. Takut-takut kalau Bundanya Dira bakal ngira dia pacaran sama Dira. Hmmm, mungkin nggak yaa? Hehe..
“Hmmm, Tante tau kok, Dira kan belum punya pacar. Tau nggak kenapa Dira ngajak Metha kesini?” Metha menggeleng. “Dira nggak pernah bilang Tan,” Tante Debi memegang tangan Metha, tatapannya lurus. “Dira percaya sepenuhnya sama kamu.” Metha mengerutkan kedua alis matanya.
“Itu alasan Dira ngajak kamu kesini,”
“. . .”
“Dira pasti punya alasan lain kenapa Metha wanita yang diajak kesini.” Sambung tante Debi lagi, Metha meringis, tinggi banget bahasanya sih Tante, wanita men ! hehe.. beruntung datang Mbok Min, jadi nggak kagok lagi deh.
 “Hmm, Tante,” panggil Metha Tante Debi menoleh.
 “”Metha boleh nanya nggak?”
“Boleh donk. Tanya aja Met,”
“Hmm, gimana perasaan tante sekarang ini?” Tante Debi terdiam, ia menarik nafas sejenak.
“sakit,”
“Tante sakit?” Metha merubah arah duduknya, ia menghadap Tante Debi.
“Ibu mana yang tidak sakit bathinnya kalau keluarganya berantakan?”
“. . . “ Metha menatap dalam bola mata Tante Debi yang sendu. Disana jelas terlihat kesedihan yag mendalam. Metha merasakan sesak didadanya, ia merasakan luka yang ditanggung Tante Debi selama bertahun-tahun.
“Tante sayang Dira,tante sayang Dini adik Dira. Tapi sayangnya tante sama sekali tidak tau kabar Dini. Setiap malam tante selalu berdoa, memohon agar semuanya cepat berakhir. Dira anak laki-laki tante satu-satunya, Dini pun demikian. Tante ingin smuanya ada disini.”
Airmata tante Debi tak terbendung lagi, ia menangis. Metha miris melihatnya. Sakit rasanya, melihat seorang ibu menangis. Menangis karena keluarganya. Sementara ia tidak penah merasakan punya keluarga. Dengan pelan, Metha memegang bahu tante Debi.
“Sabar yaa tante, Metha bakal bujuk Dira untuk bawa Dini kesini.” Tante Debi menatapnya, tatapan yang benar-benar lembut.
“Nggak semudah itu Met, Dira benar-benar sudah membenci papanya. Bahkan ia merelakan adik perempuannya dibawa oleh papanya.”
“Dira egois Tan,dia sama sekali nggak mikirin perasaan tante.” Tante Debi tersenyum, ia mengusap airmatanya.
“Makasih ya Metha sudah mau kesini,temani tante disini. Kalau nggak ada Mbok, tante benar-benar sendiri di dunia ini.”
“Sama-sama tante. Besok-besok Metha mau kesini lagi, boleh?”
“Bukannya nggak boleh,tapi itu nggak mungkin.Dira kesini hanya sebulan 2 kali, itupun kalau dia lagi nggak ada kerjaan.” Kata Tante Debi sedih. Hm, kasian tante Debi…
“. . .” Metha diam mendengarnya
“Bagaimana dengan kamu?”
“Aku? Metha kenapa Tante? Bagaimana apanya?”
“Tante mau dengar keluarga kamu.”
“Metha Cuma punya paman Tan, Cuma dia.”
Tante Debi mengerutkan kening, belum lagi ia bertanya, Dira sudah muncul didepan pintu.
“Maaf Bun, aku kejebak macet,” ujarnya tergopoh-gopoh.
“Persediaan makanan dikulkas masih banyak kok Dir,”
“Dira pengen makan sup tulang sama Bunda,. Tapi udah dingin nih,. Gara-gara macet nih. Uh, sialan !”
“Udaah, nggak apa-apa kok, biar Mbok panasi. Kita makan yuk Met,”
                            
                                                          ***
          Setelah makan siang, Mertha dan Dira duduk bersantai dibelakang rumah, di bawah pohon kapuk yang menjulang tinggi, benar” sejuk.
“Ngobrol banyak ya ma Bundaku ?”Tanya Dira yang tengah bersandar dibatang pohon kapuk. Metha duduk di ayunan gantung diantara kedua pohon kapuk, kedua kakinya ia ayunkan ke depan dan ke belakang. Metha mengangguk,”Lumayan.”jawabnya singkat. “Ngobrol apa aja ?”Tanya Dira. “Banyak deh, mau tahu aja.”jawab Metha penuh rahasia. “Uh, rese banget sih.”ketus Dira. “Biarin, wee.”Metha menjulurkan lidahnya. Dira menatapnya penuh kesal. Metha pun tertawa.
“Eh Dir, “panggil Metha.
“….”
“Dira !”panggil Metha setengah membentak. “Iya, apaan sih. Aku tuh gak tuli Met, biasa aja donk.”jawab Dira. “Tapi muka kamu tuh kayak orang tuli beneran tau.”sahut Metha. “Tuh, kamu doyan banget cari ribut.”kesal Dira. “Hehe, pisss.”canda Metha. “Mau ngomong apa sih?”Tanya Dira masih kesal. “Kamu sayang sama keluargamu ?”Tanya Metha dengan nada serius. Dira menatapnya dalam. “Aku gak punya keluarga. “ketus Dira. “Terus, kamu berasal dari mana kalau bukan dari keluarga ?”Tanya Metha lagi. “Plis deh Met, aku cuma punya bunda. Just my Mom !”jawab Dira.
 “Hhm..dasar egois, “lirih Metha.
“Siapa yang egois ?” Dira bangun dari sandarannya.
“Siapa memangnya ? Tanya aja tuh ma rumput yang bergoyang.”ketus Metha.
“Papaku yang mulai Met, dia yang lebih dulu nyakitin bunda. Dia ambil adikku satu-satunya dan melarang kami bertemu dengannya.”
 “Emangnya kamu gak lakuin hal yang sama ?”tanya Metha. “Maksudnya, “Tanya Dira balik. “Kamu sembunyikan bundamu disini, jauh dari keramaian, terpencil dan benar-benar sendiri, kamu larang algojo ayahmu menemui bundamu. Sama saja kamu mengambil bunda satu-satunya dari Dini kan ?”
“Anak buah ayah cuma bakal nyakitin bunda Met !”seru Dira. “Mereka cuma mau kasih nomor telepon Dir, supaya bundamu bisa berkomunikasi dengan Dini.”tegas Metha. “Aaah !! Kamu gak ngerti Met .”Dira menatap Metha kesal.
“Kamu yang gak mengerti. Kamu egois. Dan benar-benar egois, gak pernah mengerti perasaan seorang Ibu.”sahut Metha tegas.
“Gak usah sok tahu kamu,”lirih Dira.
“Oh yaa.. tapi Aku lebih tahu perasaan Bunda daripada anaknya !”kesal Metha yang bangkit dari ayunan dan meninggalkan Dira.
 Tepat pukul 4 sore Dira dan Metha meninggalkan rumah bunda. Tante Debi mencium Metha dan memeluknya erat. Metha merasakan kembali kehangatan seorang ibu. Sepanjang perjalanan Dira dan Metha tidak berbicara sepatah katapun. Dira tahu Metha masih kesal padanya karena perdebatan di belakang rumah tadi. Mereka tiba dirumah Metha tepat jam 7 malam. Metha pun bergegas masuk, “Metha tunggu !”panggil Dira. Metha yang hendak masuk ke rumah pun berhenti dan berbalik. “Aku kasih tahu 1 rahasia ya Dir, bundamu sakit. Penyebabnya 1, keluarganya berantakan. Itu aja, terserah apa katamu, “ujar Metha dengan nada emosi. Dira tak membantah, menjawab 1 kalimat pun tidak. Metha berbalik menuju rumahnya dan terhenti di depan pintu rumah,” Thanks udah bawa aku ke rumah bunda Dir,”teriak Metha dan menutup pintu rumahnya.

   ***
Pukul 08.00 pagi, di kantor.
Dira berjalan agak tergesa-gesa, mengenakan kaos oblong di double kemeja tartan berwarna hitam. Lalu menuju meja Metha yang terletak tidak jauh dari meja kerjanya.”Pagi Dir,”sapa Vika, membuat Dira sedikit tersentak. Vika pun tertawa, “Hahaha… pagi-pagi udah nyari Metha. Dia di ruangan bos tuh, lagi presentasi lapangannya.“ Sambungnya. Dira tak menyahut, ia segera duduk di meja kerjanya.
Tepat jam istirahat, Dira mendatangi Metha yang tengah membolak-balik laporan yang ditugaskan manager untuknya. Ia memilih duduk di atas meja Metha, namun gadis manis itu tak menoleh bahkan menyapanya sedikitpun. “Met,”sapa Dira. Metha tak menyahut, dilihatnya Dira sebentar lalu kembali sibuk dengan kerjaannya.“Makan yuk,”lanjut Dira. “Nggak laper” jawab Metha singkat. “Tapi kan udah siang, waktunya makan,”jawab Dira lagi. Metha menatapnya lurus, membuat Dira salah tingkah dibuatnya.” Kalau kamu lapar makan aja sana. Aku gak lapar.”jawab Metha lalu bangkit dari duduknya. Dira mengikutinya. Metha pun menoleh, menatapnya. “Plis Dir, aku lagi sibuk buat revisi laporanku,”ujar Metha memelas. “Biar aku bantu ya,,”ujar Dira. “Gak perlu. Aku bisa selesaikan sendiri. Aku cuma butuh waktu buat sendiri. Urus kerjaanmu sendiri.”ujar Metha tegas. Dira masih mengikutinya menjauhi meja kerja Metha. “Please Dir, don’t disturb me.”ujar Metha lirih. Dira terhenti dan membiarkan Metha pergi menuju lift.
***
Sudah beberapa hari ini Metha uring-uringan dengan Dira. Mereka sibuk dengan kerjaan dan urusan masing-masing. Metha sibuk memotret dan buat laporan, sedangkan Dira sibuk mengedit hasil jepretan Metha. Di rumahpun Metha sibuk dengan kerjaan kantornya. “Sibuk ya neng,”tegur Paman Bill di depan pintu kamar Metha. Sang gadis pun mengangkat kepalanya, lalu tersenyum. “Hai paman, baru pulang ya ?”sapa Metha balik. “Hehe, akhir-akhir ini paman perhatikan kamu sibuk banget ya Met ?”Tanya Paman. “Iya nih, banyak kerjaan soalnya.”jawab Metha
“Sampai lupa jam pulang ya, paman sudah pulang sejam yang lalu loh,”sahut paman. “Hehehe..gitu ya. Maaf ya paman, kerjaan numpuk soalnya.”lirih Metha. “Hmm, Dira apa kabar Met ?”Tanya Paman dengan nada serius. “Baik,”jawab Metha singkat, paman Bill tersenyum geli.
“Udah seminggu ini kamu gak bareng dia yaa ?”Tanya Paman Bill. “Iya, dia ngedit foto-foto di rumah kosnya, di kantor dia sibuk.”jawab Metha. “Kalian lagi ribut Met ?”Tanya Paman lagi. “Gak, aku sibuk sama laporanku dan dia sibuk ma kerjaannya dan kami gak ada tugas memotret di luar, jadinya gak perlu jalan bareng. Aku cukup memotret objek dekat rumah aja soalnya tema minggu ini tentang sekitar tempat tinggal Man. “jawab Metha panjang lebar. Ia menjawab pertanyaan paman Bill sembari menulis laporan lalu mengetiknya. “Oh…kayaknya dia kangen deh sama kamu Met,”celetuk paman usil. “Hahaha…kangen gimana ? Aku bukan siapa-siapanya kok, Cuma partner kerja.”ujar Metha sambil tertawa. “Kalau begitu, kamu yang kangen sama dia. Ayo ngakuu ?”goda paman, Metha tersenyum menahan malu.
 “Temui gih dia,”ujar paman lagi. “Temui siapa ??”Tanya Metha menatap paman serius. “Siapa lagi partner kamu itu ? ya Dira lah.”seru paman. “Dira disini ?!”tanya Metha lebih serius lagi. Paman Bill mengangguk pelan sambil tersenyum. Tangan kanannya mengarah ke belakang. Segera Metha bangkit dan menuju ruang tamu. Sesampainya di ruang tamu Metha melihat seorang cowok bertubuh tegap mengenakan jaket hitam tengah duduk di sofa dengan tampang cuek tapi serius. Dira mengangkat kepala ketika ia tahu Metha sudah di depannya. “Lagi sibuk yaa ?”Tanya Dira, Metha duduk di hadapannya.
“Nggak juga. Ada apa malam-malam kesini ?”Tanya Metha berusaha cuek.
“Ada yang mau aku omongin,”ujar Dira serius.
“Tentang ?”Tanya Metha lagi.
“Ayah, Bunda, dan Dini.”jawab Dira dengan wajah serius. Metha menatap lurus, lalu bangkit dari duduknya.
“Kita harus bicara Met, aku tahu kamu yang hubungi nomor telfon Ayah. Sekarang mereka sedang berkumpul di villa Bunda.”Kata Dira to the point.
 “….”
“Untuk apa kamu lakukan ini Met ?”Tanya Dira.
Sorry,waktu algojo Ayahmu membuang nomor telfon di dekat motor, aku memungutnya, memberitahu keberadaan Bundamu dan membuat perjanjian.”jawab Metha. “Jadi, maksudmu kamu sudah bertemu Ayahku ?”Tanya Dira penasaran. “Dia yang menemuiku Dir.”jawab Metha. “Kamu gila Met. Kamu benar-benar sudah gila,”seru Dira. “Memang semuanya gila Dir, tapi inilah yang terbaik.”terang Metha
 “Hhhh, terbaik bullshit !”sentak Dira dan bangkit dari duduknya. Metha mendekatinya, “Kamu harus mengakhiri sandiwara ini Dir, supaya mereka tidak terus-terusan menerormu. Mereka mengancam nyawamu dan bisa saja sewaktu-waktu menyakitimu.”ujar Metha.
 “Bertahun-tahun aku menjaga Bundaku Met, dan kamu telah membiarkan Bunda diganggu oleh orang-orang brengsek itu tanpa sepengetahuanku ?!”lirih Dira
 “ Aku nggak bermaksud untuk lancang Dir, tapi aku harus membantu Tante Debi. Aku gak mau dia sakit,”seru Metha.
“ Oh, gitu ya ? Tapi kamu udah buat aku benar-benar sakit.”jawab Dira. Metha menatapnya sedih.
“ Dir, bukan… “lirih Metha. Dira keluar dari ruang tamu diikuti oleh Metha.
“Dir, tunggu dulu.”Metha menarik tangan Dira. “Untuk apa ? Mendengar cerita konyol kamu ?”tegas Dira. “Kamu salah paham Dir, come on. Kamu jangan egois. Please Dir, semuanya harus seperti ini. Tante Debi sudah terlalu sakit Dir.”Metha berusaha menjelaskan pelan-pelan, ia  memohon pengertian Dira. Tapi sayang cowok ini terlalu cuek dan gak peka sama sekali. Dira pergi tanpa sepatah kata pun. Metha memejamkan matanya sejenak, lalu air matanya pun turun bersamaan dengan ia membuka matanya. Metha terpaku, berdiam dan membisu. Lalu seseorang menepuk bahunya pelan, Metha tak menoleh. “Aku lakuin semua buat Dira.”ucap Metha dengan bibir bergetar. Paman Bill menarik nafas dalam-dalam. “Aku ingin dia mengerti paman, selama ini dia sudah salah menilai Ayahnya. Ayahnya ingin kembali dengan Bundanya. Dia ingin keluarganya utuh kembali. Dia ayahnya yang selalu salah dimata Dira.”lanjut Metha, suasana hening. Metha menangis dipelukan paman Bill. “Sabar sayang, paman yakin Dira pun punya perasaan yang sama dengan kamu. Suatu saat nanti, cinta kalian yang akan menjelaskan bahwa dia salah menilaimu.”Bisik paman bijak.
***
Pagi hari di kantor. Pukul 09.15
Meeting tadi kamu bengong aja Met ?”Tanya Vika ketika mereka keluar dari ruang manager bersama Metha. “Ah masa sih mbak ? gak kok.”elak Metha. “By the way kamu tahu ke mana dia pagi ini ? Gak ikut meeting ?”Tanya mbak Vika lagi, Metha menggeleng. Bukan cuma hari ini, sudah 3 hari dia gak pernah ikut meeting. Datang ke kantor cuma sekali dan itupun cuma antar laporan terus pergi lagi. Metha juga nggak pernah motret bareng lagi. Cowok itu naik jabatan karena hasil editannya dapat banyak penggemar. Hasil editannya terkenal, membuat kantor majalahnya naik daun. Metha pun mendapat bonus karena editan Dira adalah hasil jepretannya.

  ***
   Malam ini Metha mencoba keluar rumah, setelah beberapa hari ini Metha berdiam diri di rumah dan menutup diri. Metha yang ceria sudah tidak tampak lagi, yang kelihatan hanyalah Metha yang cuek, tidak memerhatikan sekitar dan lebih tertutup. Ia berjalan menyusuri koridor stasiun, meski sudah malam tapi stasiun masih saja ramai. Metha kembali kejadian yang menimpa Dira saat memotret stasiun. Dira di pukul orang-orang Ayahnya, ia babak belur dan itu membuat Metha ketakutan lalu Dira memeluknya erat. Hmm, air mata metha kembali menetes.
Pukul 9 malam, Metha memakir motornya di warteg nasi uduk special. Tempat ia biasa makan dengan Dira, sebenarnya ia tidak ingin kesini tapi entah kenapa hatinya berkata lain. Metha memesan makanan, menunjuk mejanya lalu ke toilet. Ia berdiri di depan washtafel toilet. Tampak Metha yang sangat murung dan kelelahan. Bayangkan ia menyusuri koridor stasiun dengan berjalan kaki dan itu menghabiskan waktu kurang lebih 1 jam. Tidak habis disitu, ia memutar kota dan taman kota juga pusat kota. Hingga perutnya bergejolak. Methapun memutuskan untuk mencari tempat makan yang nyaman. Dan sampailah ia sekarang di pinggiran kota. Di warteg nasi uduk special. “Metha kan ?”sapa seseorang. Metha tersentak, lalu ia melihat sosok itu berdiri di belakangnya. “Tante Debi ?”ucap Metha kaget. Metha menoleh”,Tante Debi ?”ulang Metha. Tante Debi tersenyum ramah, ia memeluk Metha erat. Metha merasakan pelukan yang begitu hangat dari Tante Debi.
“Tante senang bisa ketemu kamu disini Met, seneng banget ! Kamu apa kabar ?”Tanya Tante Debi.
“Baik Tan. Tante gimana ? Kok bisa ada disini ?”Tanya Metha heran. “Ceritanya panjang sayang, semuanya karena kamu. Makasih ya !”jawab Tante Debi. “Makasih untuk apa Tan ?”Tanya Metha. “Hehe..sudahlah gak usah pura-pura gak tahu gitu. Kamu itu pahlawan. Oh ya, kamu sama siapa kesini ?”.
“Sendiri.”Jawab Metha. “Tante sama keluarga.”ujar Tante tanpa di Tanya Metha. “Keluarga ?”ulang Metha tak percaya. Tante Debi menggandeng Metha keluar toilet dan menuju meja makan. “Kamu suka makan disini Met ?”Tanya Tante. “Suka tan. Tante gimana ?”Tanya Metha balik. “Dira yang ngajak kesini, katanya dia suka makan disini.”Jawabnya. “Tante sama Dira juga ?”Tanya Metha penasaran.
“Loh, kamu ini gimana sih Met, Dira kan anak Tante. Dia juga bagian dari keluarga kan ?”ujar Tante. Metha lalu tersenyum lalu melihat ke arah meja yang ditunjuk Tante Debi. Benar,disana ada Om Tyo, orang yang seminggu lalu ditemuinya di halte belakang kantor. Metha yang meneleponnya dan memintanya untuk berhenti meneror Dira. Ada Dira di hadapan Om Tyo, sedang di sebelah Om Tyo ada gadis manis berusia 9 tahun. Itu pasti Dini, adik Dira. Metha di sambut hangat Om Tyo dan Dini. Ia dipersilahkan tante Debi duduk di sebelah Dira,sat-satunya kursi yang kosong. Mereka melahap nasi uduk special plus ayam keriting, sembari bercerita dan bersenda gurau. Hanya Dira yang tidak menikmati malam ini, ia mengaduk-aduk makanannya tanpa ekspresi. Metha merasakan sikap dingin Dira padanya.
“Mau langsung pulang Met ?”Tanya tante Debi setelah makan malam berakhir. “Iya tante, makasih ya atas makan malamnya.”jawab Metha. “Iya sama-sama, gak ada apa-apanya di bandingkan kebaikan kamu Met.”sahut tante Debi. “Hehe, sama-sama tante. Metha senang bisa dinner bareng keluarga tante.“ jawab Metha. “Tante juga. Oh ya, udah malam nih di antar ma Dira aja ya ?”ujar tante Debi. Dira tak menyahut,” Hmm, Metha bawa motor kok tante, gak usah repot-repot.” Elak Metha sembari melirik Dira yang tengah asyik mengutak-atik hp di sebelah om Tyo, “Gpp Met, ud malam nih. Bahaya kalau kamu pulang sendiri, biar dianterin Dira. Diikutin dari belakang aja, biar mastiin kamu nyampe di rumah dengan selamat.”sahut Om Tyo. Metha tidak menyahut, giliran Dira yang melirik Metha, om Tyo menepuk pundak Dira. “ Ayo Met. Kamu harus sampai di rumah dengan selamat.”ujar Dira menuju parkiran. Om Tyo dan tante Debi tersenyum lega. Metha masih tidak menyahut,”Hmm,Metha pamit ya Om Tyo, tante.”ujar Metha. “Ya, hati-hati ya Met.”jawab tante Debi.


***
     Sesampainya di rumah Metha, Dira tidak langsung pergi, ia ikut memarkirkan motornya di sebelah motor Metha.” Kita perlu bicara Met,”ujar Dira. “Aku pikir kamu udah gak mau ngomong ma aku lagi.”jawab Metha. Dira tidak menjawab, ia duduk di ayunan di depan rumah diikuti Metha di sebelahnya. “Makasih Met.”ucap Dira pelan tanpa keraguan. “Untuk apa ?”Tanya Metha. “Untuk semuanya, aku tahu kamu yang nelfon Ayah untuk ketemuan. Kamu bakal kasih tahu alamat Bunda dengan syarat buat surat perjanjian bermaterai.”jawab Dira.
“…”
“Kamu buat Ayah dan Bunda bersatu lagi. Adikku Dini, kembali dan kami menjadi satu keluarga yang utuh.”lanjut Dira.
“…”
“Ayah sudah banyak berubah Met, dia gak arogan lagi, lebih sabar dan penyayang.”
“…” Metha masih menutup mulutnya rapat-rapat.“Kamu gak mau bilang sesuatu ?”Tanya Dira. “Nggak. Aku rasa nggak perlu.”jawab Metha datar. “Kenapa Met ?”Tanya Dira lagi. “Untuk apa ? toh kamu udah tahu dari Ayah dan Bundamu kan ?”Tanya Metha balik. Gadis ini bangkit dari ayunan, “Udah malam Dir, gak enak dilihat tetangga nanti.”ujar Metha. Dira bangun dari duduknya dan berdiri di depan Metha. Tatapannya dalam, namun lebih hangat. Tatapan Dira kali ini membuat Metha tak berkutik. Dira mendekatkan wajahnya, Methapun memejamkan matanya lalu sebuah kecupan hangat mendarat di keningnya. Metha tersenyum lega, bahagia, atau apalah. Terlalu kaget namun menyenangkan. Dira membelai rambut Metha pelan,”Harusnya aku sadar, ada seorang gadis yang mau mengorbankan perasaannya untuk keluargaku. Aku sayang banget sama kamu Met.”ucap Dira pelan. Metha terpaku, berdiam dan membisu. Ucapan Dira sungguh membuatnya tak berdaya. Dira yang selama ini ia kenal cuek, dingin sama cewek, sekarang bilang sayang sama Metha. Banget ?! Metha bahagia, airmata kebahagiaannya pun mengalir begitu saja. Dira mengusap airmata itu dengan jemarinya. “Apa kamu juga punya perasaan yang sama denganku Met ?”Tanya Dira. Metha mengangguk cepat. “Jangan sedih ya, aku gak mau lihat kamu nangis. Maafin aku kalau airmata kamu pernah jatuh karena aku. Aku gak akan ninggalin kamu Met,”ujar Dira lagi. Airmata Metha kembali menetes, Metha buru-buru mengusapnya.  ” Udah malam. Aku pulang dulu, Met bobo ya.”ujar Dira sambil  mengusap kepala Metha lalu meninggalkan rumah Metha. Metha buru-buru masuk ke rumah, menggedor kamar pamannya dengan keras, membuat paman Bill kaget dan buru--buru keluar kamar. “Kamu baru pulang Met ? Paman tunggu sampai ketiduran loh,”ujar paman. Metha malah menceritakan kejadian barusan kepada paman dengan ekspresinya yang menggebu-gebu. Paman Bill ikut senang mendengar cerita dari Metha. Cewek manis ini bersorak kegirangan, lalu ia memeluk erat pamannya, satu-satunya orang tua yang ia punya. “Makasih paman. Metha benar-benar bahagia banget ! Serasa mimpi !!!”ujar Metha. Paman membelai rambutnya,” Sudah paman katakan sebelumnya, cinta yang akan menunjukkan bahwa Dira sudah salah paham sama kamu. Selamat ya sayang, paman bahagia atas kebahagiaanmu. Jaga baik-baik ya Diramu dan cinta kalian.”ujar Paman. Metha tertawa girang, “Oh, so sweet. Pasti paman, pasti ! dada….”ujar Metha yang berlari ke kamarnya.
***
Pagi ini Metha bangun subuh, memasak kesukaan paman di dapur lalu membuat cappuccino hangat favorit Paman Bill. “Waduh, udah ada mbok Mehta nih, rajin banget.”ledek Paman Bill yang muncul di pintu dapur dan tertawa melihat aksi Metha di dapur. “Kok mbok sih Paman, emangnya pembantu !”ketus Metha. “Ya udah, nyonya Dira deh..”ujar Paman. Metha tertawa geli. Tepat pukul 8 pagi, Dira menjemput Metha untuk berangkat ke kantor bareng. Mereka pun breakfast bareng sambil bercengkrama hangat seperti hangatnya cappuccino buatan Metha. Lalu berpamitan pergi ke kantor.
                                                            ***
          Hari ini Metha mengerjakan semua tugas dari manager dengan semangat 2 kali lipat. Tidak henti-hentinya cewek ini tersenyum ketika Dira melewatinya. “Girang banget, menang togel yaa?” Goda Pipit , Metha tertawa. “Mbak kebiasaan tuh memvonis aku sembarangan.”Jawab Metha. Pipit kembali tertawa. “Jadiii ?! kenapa donk. Banyak kerjaan gini kok girang banget. Hayooo !” Tanya Pipit lagi. “Yang jelas bukan menang togel, enak aja ! haram tau.” Sahut Metha cengar-cengir.
“Hahahah… aku tau. Kamu sudah menangin hati Dira kan !”
Metha tertawa. Pipit terus mendesak hingga cewek manis itupun mengangguk. Pipit pun menambah volume tawanya sembari berekspresi lebay. Hmm, atasan yang alay !
          Jam makan siang pun tiba. Dira mengajak Metha keluar kantor. Diluar dugaan, cowok cuek ini membawa Metha kesebuah rumah mewah, dipinggir jalan dan terletak lumayan jauh dari kantor mereka. Dira menggandeng Metha hingga tiba diruang makan. Metha pun tersentak, sudah ada Ayah dan Bundanya disana. Tante Debi mempersilahkan Metha duduk dan mereka menyantap makan siang yang mewah itu. Setelah itu, tante mengajak Metha keruang keluarga, tentunya setelah membantu Tante membereskan meja makan.
 Ternyata sudah ada Om Tyo dan Dira lebih dulu. Mereka memperhatikan Metha hingga cewek ini mengambil posisi duduk dihadapan Dira. Tante Debi duduk disebelah Om Tyo dan kini Metha duduk seorang diri di sofa yang besar itu. Kesannya kayak mau divonis aja. Posisi Metha seperti terdakwa di meja hijau atas tuduhan pencurian hati milik tuan Dira. Hahaha…
          Beberapa menit kemudian, Dira beranjak dari duduknya dan duduk disebelah Metha. Suasana benar-benar menegangkan, semua terdiam. Metha menggigit bibirnya,  Dira pun menahan tawa melihat  ulah Metha yang menutupi kegugupannya.
“Metha tau kenapa tiba-tiba kita makan siang dadakan  kayak tadi?” Tanya tante Debi.
Metha menggeleng cepat. “Nggak tau Tan. Dira Cuma bilang mau makan siang, tapi dia nggak bilang kalau makan siangnya bareng Tante sama Om juga. Makanya Metha sempat shock tadi.”Tutur Metha. Lalu ia menoleh ke Dira, menatapnya jutek. Eeh Dira malah mengedipkan mata padanya. Hehehe.. Tante tersenyum melihat sikap Dira.
“Hmm.. sebelumnya Tante udah pernah bilang kok. Tapi kamu pasti lupa.”
“Soal apa Tan?”
“Soal satu-satunya cewek yang dia ajak bertemu dengan Tante.”
“Oh soal itu. Metha masih inget kok Tan.” Jawab Metha manggut-manggut. Ya iyalah, jauh sebelum Dira suka sama Metha, kan Metha ini sudah naksir berat sama cowok cool itu. Jadi jangan heran kalau segala sesuatu tentang Dira, Metha harus cari tau. Ssst, rahasia !
“Syukurlah. Jadi kamu sudah tau kan?”
“Haa ?tau apa Tan?” Tanya Metha kebingungan mencerna kalimat Tante Debi.
“Hmm.. begini,Dira pernah janji sama Tante,hanya ada satu wanita yang diajaknya menemui Tante secara khusus.”
“. . . ” Metha mulai menggigit bibirnya. Wah,Gugup nih !
“Bahwa wanita itu akan menjadi yang pertama dan terakhir dalam hidupnya. Satu-satunya yang benar-benar ia sayangi,dan pilihan terakhir untuk hidupnya sekaligus yang terbaik untuk keluarganya.”
“. . . “ Metha masih menggigit bibir bawahnya, bahkan detak jantungnya sedikit lebih kencang dari biasanya. Ia masih menunggu kalimat lanjutan dari Tante Debi. Melihatnya, membuat Om Tyo tidak sanggup lagi untuk menahan tawanya. “Hahaha.. kamu memang calon mantu yang lucu.” Ujarnya tidak tanggung-tanggung. Metha pun menoleh ke Dira, meminta penjelasan atas tuduhan Ayahnya. Tapi cowok cuek yang keren ini malah ikut tertawa. Membuat Metha geram melihatnya. Tante Debi pun tersenyum lebar. “Wanita itu kamu, Met.” Ujar Tante. Metha menoleh ke Tante lalu tersenyum senang. Manis sekali. “Trima Kasih Tante.”Ucap Metha. Tante Debi dan Om Tyo pun mengundang Metha kembali kerumahnya untuk makan malam. Bahkan diharuskan hadir bersama Paman Bill. Metha pun berjanji untuk menceritakan kisah keluarganya kepada Tante Debi.

                                                           ***
          “Kamu tuh sengaja ya buat aku malu didepan ortumu ?1 kenapa nggak bilang aja sih kalo makan siangnya tuh dirumah bareng Bunda sama Ayah. Jadinya kan aku nggak perlu kagok kayak tadi. Nggak perlu shock segala. Seenggaknya kan aku bisa lebih siap mental. Uuh, Tega banget sih jadi orang !” Sungut Metha bertubi-tubi. Ia benar-benar dongkol melihat Dira yang cekikikan melihat kegugupan Metha dirumahnya tadi. Hingga sepanjang jalan menuju kantor, Dira masih saja cekikikan melihat ekspresi Metha yang kesal padanya.
“Terus aja ngetawain aku. Heran, seneng banget sih ngerjain orang.”Lanjut Metha jutek. Melihat raut wajah Metha yang kesal dan sedih, Dira pun menghentikan tawanya.
“Aku nggak ngerjain kamu kok. Itukan surprise.”
“Aah.. surprise apaan. Ngagetin iya ! jantungan aja enggak.”Ketus Metha lagi.
“Hehe.. jangan marah donk. Aku kan becanda. Oh iya Met,lusa aku berangkat ke Bali. Ada tugas memotret disana. Sekaligus pertemuan Tim editor se-Indonesia. Itu sebuah penghormatan buatku.” Papar Dira dengan nada serius. Metha menatapnya lurus.
“Ke Bali ???kok baru bilang sih. Lusa mau berangkat baru ngomong. Huh.”Ujar Metha dongkol.
“Nah ! yang ini baru surprise kan !”
“Ah ! nggak lucu Dir.” Kata Metha bete.
“Memang. Akukan nggak lagi becanda. Mau lihat surat perintahnya ?”
Metha tidak menyahut. Ia tidak menyangka kalu Dira benar-benar akan meninggalkannya ke Bali. Baru saja ia merasakan kebahagiaan karena mereka resmi berpacaran. Dira menatap Metha yang murung. Cowok cool ini tidak tinggal diam. Digenggamnya tangan Metha. “Met?”Panggilnya. Metha tidak menyahut, Dira tau persisi, Metha pasti kaget dan sedih mendengar berita ini. Tapi perintah ini baru saja datang kemarin malam. Itupun lewat Vita, Assisten manager. Karena manager kantor sudah lebih dulu keluar kota.
Sejurus kemudian, Dira memegang kedua pipi Metha. Cewek dihadapannya ini menatapnya sedih. “Akukan udah janji nggak bakal ninggalin kamu. Kok sedih sih?”
“Tapi kamu kan harus ke Bali. Aku tau kegiatan kamu disana nggak sehari-dua hari. Kamu bakal lama disana Dir. Aku tau pasti dunia Editor sekaligus Photograper handal kayak kamu.”
“Iya. Aku memang bakal ninggalin kamu kurang lebih satu tahun 3bulan. Tapi itu hanya untuk sementara waktu kok Met.”
“Selama itu ???”Tanya Metha tidaak percaya. Dira mengangguk pelan.
“Iya sayang. Dengerin aku yaa, aku memang bertugas ke Bali selama kurang lebih 1 tahun 3 bulan. Selambat-lambatnya 1 setengah tahun, dan aku nggak akan memperpanjang proses disana. Karena ada kamu disini. Sepulang dari sana aku akan melamar kamu Metha.” Kata Dira dengan voice yang benar-benar lembut. Ia berusaha meyakinkan Metha bahwa Dira akan kembali untuknya. Metha menatap Dira dalam. Tidak ada kebohongan sedikitpun dimata Dira. Metha punya banyak teman lelaki. Punya beberapa mantan pacar. Tapi Dira adalah satu-satunya cowok yang paling cuek yang pernah dikenalnya. Bahkan lebih cuek dari perkiraannya. Tapi sekarang, dihadapannya cowok cuek itu bilang nggak akan meninggalkan Metha.   Bahkan akan melamarnya tahun depan ?!
Yaa… itu memang bukan waktu yang singkat. Metha benar-benar harus bersabar menunggunya. Jauh dari dalam lubuk hatinya, Metha sangat mendambakan sosok Dira. Meskipun Nampak cuek, tapi cowok itu punya segudang perhatian yang hanya ia berikan kepada orang-orang tertentu dan terlebih orang-orang spesial. Metha beruntung termasuk didalamnya.
“Kamu percaya sama aku?” Tanya Dira. Tatapannya lebih dalam dari sebelumnya. Metha mengedipkan matanya yang lembab, lalu memeluk Dira. “Nggak ada yang kuraguin dari kamu, Dir.” Ucapnya. Dira tersenyum lega dan erat memeluk Metha.
         
                                                   Created By :
Monica R. Andriany